Thursday, May 30, 2013

Apakah Harga Saham Sudah Mahal?

Banyak pembaca yang bertanya,"Menurut Bapak Iyan, apakah harga saham ABCD sudah mahal?"

Kalau anda membaca halaman About, anda sudah tahu bahwa saya tidak memberikan rekomendasi saham spesifik.

Apakah TLKM sudah mahal? Apakaha WSKT sudah mahal?

Saya tidak bersedia menjawab.

Lho, kok pelit banget sih, gerutu anda.

Terus terang, saya memang pelit dalam hal tertentu. Tapi pelit bukanlah penyebab saya tidak bersedia menjawab apakah suatu saham sudah mahal atau masih murah. Saya tidak bersedia menjawab karena saya TIDAK TAHU.

Saya ulangi: Saya tidak tahu apakah saham sudah mahal atau belum.

Lagian, saya lebih baik tidak tahu.

Lho?

Yang meneliti apakah saham masih murah atau sudah mahal adalah analis fundamental. Saya bukan penganut analisa fundamental; saya penganut analisa teknikal.

Kalau sudah baca pos "Saham Yang Layak Dibeli Menurut Analisa Teknikal" anda tahu bahwa analisa teknikal menganjurkan membeli saham yang cenderung naik, bukan saham yang murah. Kalau saham cenderung naik, lambat-laun ia akan menjadi mahal.

Masalahnya, saham yang sudah mahal, biasanya malah naik terus dan jadi tambah mahal. (Kalau anda sudah main saham cukup lama, saya yakin anda pernah mencermati hal ini.) 

Bukan hanya itu. Saham yang sudah naik banyak bukan hanya makin naik terus, tapi juga naiknya makin cepat. Makin tinggi harganya, makin cepat naiknya.

Nah, kalau saya membaca atau mendengar bahwa saham ADHI atau TOTL atau WSKT atau WIKA atau KLBF atau KIJA atau LPCK atau MPPA sudah mahal, makin kurang keberanian saya untuk membeli saham-saham tersebut. Padahal saham-saham yang sudah mahal, kalau mereka bergerak naik, naiknya malahan amat sangat pesat .

Inilah sebabnya saya tidak tahu, tidak mau tahu, dan (berusaha) tidak peduli apakah saham sudah mahal atau tidak. Walaupun saham sudah naik banyak, kalau analisa teknikal yang saya pakai memberi sinyal beli, saya akan beli.

Membeli saham yang sedang naik, apalagi yang sudah naik banyak (dan menjadi mahal) tentu saja tidak saya anjurkan untuk pemula. Mengapa? Karena saham yang sudah naik tinggi, biasanya volatilitasnya juga tinggi. Artinya, saham tersebut cenderung naik tajam dan turun tajam. Kalau anda beli pada moment yang salah, besar kemungkinan anda akan rugi.

Lagipula, inti dari pos ini bukan menganjurkan anda untuk membeli saham yang mahal. Inti pos ini: anda tidak perlu tahu apakah saham sudah mahal atau belum karena pada dasarnya tidak ada yang tahu.

Saham yang sudah naik banyak, sudah mahal, bisa menjadi lebih mahal lagi. Maka dari itu, kalau saham yang anda miliki sedang naik pesat, biarkan ia naik. Tidak perlu coba-coba menerka-nerka apakah ia sudah kemahalan, apakah sudah saatnya jual. Apalagi pengetahuan anda dalam menganalisa saham masih minim (jangan tersinggung).

Kalau analis-analis profesional dengan data lengkap, pengalaman segudang, pendidikan tinggi, masih saja sering salah menebak harga saham yang wajar (Silahkan baca pos "Valuasi Indeks Saham Indonesia Terlalu Tinggi?"), bagaimana dengan prospek anda menebak apakah suatu saham sudah mahal?

Apakah ini berarti saham yang naik akan naik terus?

Tentu saja tidak. Saham yang naik, terus naik, pada akhirnya akan turun. Tidak ada saham yang terus naik dan tidak pernah turun. Tapi tidak ada juga yang tahu sampai di harga berapa saham tersebut akan naik sebelum akhirnya berbalik turun. 

Kalau turun, bagaimana?

Kalau turun, ya harus cut-loss.

Kalau anda sudah tahu cara cut-loss (silahkan baca pos "Cara Cut-Loss Untuk Stop Kerugiaan Saham") anda tidak perlu khawatir apakah saham yang anda beli sudah mahal. Kalau BENAR sudah mahal, saham tersebut akan turun dan anda jual rugi di titik cut-loss. Kalau saham tersebut masih naik, berarti belum mahal. Nyatanya masih ada (banyak) yang beli.

Kalau saham naik pesat jauh di atas titik cut-loss, kapan jualnya supaya saya tetap untung?

Kalau saham sudah berpotensi memberikan laba, anda perlu memakai teknik menjual yang disebut TRAILING STOP. Untuk jelasnya, silahkan baca pos "Cara Menjual Saham Agar Profit Maksimal."
 






Pos-pos yang berhubungan:
[Pos ini ©2013 oleh Iyan terusbelajarsaham.blogspot.com. Hak Cipta dilindungi Undang-Undang.]  

Wednesday, May 29, 2013

Cara Menjual Saham Agar Profit Maksimal (Bagian I)

Anda sudah membeli saham dan saham tersebut naik. Apa yang sebaiknya anda lakukan?

Kalau anda sudah membaca pos "Cara Main Saham Untuk Pemula: Setelah Beli (Bagian I)" anda tahu bahwa sebaiknya anda menjual SEBAGIAN dari saham yang anda miliki. Saran saya di pos itu adalah untuk menjual SETENGAH dari jumlah saham yang anda miliki.

Itu konsep yang saya kemukakan. Tapi jual setengah ini di harga berapa? Lalu bagaimana dengan setengah yang kedua?

Di pos ini saya akan membahas permasalahan di atas dengan detail.

Untuk memudahkan diskusi, mari kita memulainya dengan contoh rencana trading (trading plan) yang anda siapkan.

Misalkan saja anda membeli saham Waskita Karya (WSKT) di harga Rp 800 sejumlah 100 lot. (Kalau anda tidak tahu arti "lot," silahkan baca pos "Arti Istilah 'Lot' dan 'Odd Lot' di Bursa Efek Indonesia.")

Pada saat membeli, anda langsung menentukan harga cut-loss kalau-kalau saham turun. Anda memakai cut-loss sistem persentase (silahkan baca pos "Cara Cut-Loss Untuk Stop Kerugian Saham"), dan angka yang anda pakai adalah 10%. Artinya, kalau saham WSKT turun 10%, anda akan langsung jual rugi.

Setelah menetapkan cut-loss 10% dari harga beli, anda juga menentukan batas waktu (deadline) untuk cut-loss. (Silahkan baca pos "Cara Main Saham Untuk Pemula: Setelah Beli, Bagian IV".) Karena anda memutuskan menjadi swing-trader, batas waktu yang anda tentukan adalah 20 hari kerja bursa. Artinya, kalau WSKT dalam 20 hari kerja tidak naik, tapi juga tidak turun sampai titik cut-loss, anda akan jual.

Kondisi awal rencana trading (trading plan) anda:

Beli WSKT 100 lot di Rp.800.
Cut-loss kalau WSKT turun ke 720.
Batas waktu: 20 hari kerja.

Setelah anda beli, WSKT sempat turun ke 750, tapi lalu perlahan-lahan naik.

790, 800, 810, 820, 830, 840.

Pada hari ke-sebelas, WSKT tutup (close) di harga 850.  (Untuk menyegarkan ingatan anda tentang Close, silahkan baca pos "Empat Komponen Harga Saham Yang Perlu Anda Ketahui.")

Anda senang WSKT naik DI ATAS harga beli anda. Di atas kertas, anda sudah untung.

Bung Iyan menyarankan saya menjual SETENGAH dari saham yang sudah naik," gumam anda dalam hati. Tapi dia tidak bilang jualnya di harga berapa. Gimana nih?

Kebetulan sekali. Si bung Iyan akan memberikan saran tersebut di sini. Saran saya:

Jika saham yang anda beli naik, target harga jual pertama adalah sebesar target anda cut-loss.

Artinya, kalau anda menetapkan cut-loss 5%, target jual pertama adalah ketika saham naik 5%. Kalau anda menetapkan cut-loss 25%, target jual pertama adalah ketika saham naik 25%.

Nah, karena anda menetapkan cut-loss 10%, target jual pertama anda adalah ketika saham NAIK 10%.

Trading Plan lengkap dengan target harga ke-1:

Harga beli WSKT: 800.
Harga WSKT sekarang: 850.
Jumlah saham: 100 lot.
Cut-loss kalau WSKT turun ke 720.
Jual SETENGAH kalau WSKT naik ke 880.

Namanya juga lagi beruntung, lagi hoki, beberapa hari kemudian, pada hari ke-limabelas setelah anda beli, WSKT benar naik ke 880. Jadilah anda menjual 50 lot (setengah) saham WSKT milik anda.

Aaah, sungguh senang hatiku, anda bernyanyi-nyanyi kecil. Kalau WSKT naik, saya masih punya 50 lot lagi. Kalau turun...wah, kalau turun saya juga masih punya 50 lot. Musti diapain nih sisa yang setengah ini?

Pertanyaan yang sangat valid.

Kondisi sekarang:

Harga WSKT: 880.
Jumlah saham: 50 lot.
Cut-loss kalau WSKT turun ke 720.
Keuntungan yang sudah direalisasi: 50 lot x 500 lembar/lot x Rp 80 = Rp 2 juta.

Nah, kalau kondisi di atas tidak anda perbaharui, anda akan menjual HANYA kalau WSKT turun ke 720. Kalau hal ini terjadi, artinya anda rugi Rp 2 juta (50 lot x 500 lembar/lot x Rp 80).

Alhasil: untung Rp 2 juta yang pertama habis untuk menutupi rugi Rp 2 juta ini, total jenderal tidak ada untung (bahkan masih rugi sebesar "fee" jual beli yang harus anda bayar ke broker.) 

Di Wall Street (bursa saham Amerika Serikat) ada pepatah "Don't Let Your Profit Turn Into a Lost." Terjemahannya: Jangan biarkan keuntungan berubah menjadi kerugian.

Masalahnya, bagaimana cara terbaik mencegah untung berbalik menjadi rugi?

Bagaimana kalau jual sisa saham di harga target atau di titik resistance yang ditulis oleh analis-analis di surat kabar atau di riset yang mereka email ke anda?

Jangan.

Kan sudah saya beritahu di pos "Valuasi Indeks Saham Indonesia Terlalu Tinggi?" agar  TIDAK serta-merta percaya pada analis, bahkan yang profesional sekalipun. Ingat: tidak ada seorangpun yang tahu apa yang akan terjadi di masa depan.

Kalau begitu, apa tidak lebih baik kalau jual SEMUA saja di 880? Kan sudah untung?

Jangan juga.

Menjual SEMUA di 880 memang memastikan anda mendapat untung. Tapi bagaimana kalau WSKT masih naik lagi?

Di Wall Street ada juga pepatah: Let the profit runs. Terjemahannya: biarkan keuntungan berlari. Artinya, jangan terlalu cepat mengambil keuntungan karena bisa saja keuntungan tersebut menjadi lebih besar.

Lagipula, tidak banyak saham yang anda beli memberikan profit; lebih banyak yang merugi. Ketika saham memberikan untung, anda harus meraup untung semaksimal mungkin untuk menutup kerugian dari saham-saham yang lain.

Kalau sisa saham tidak langsung dijual, khawatir turun lagi. Kalau sisa saham langsung dijual, khawatir masih naik terus.

Jadi harus gimana sih? ujar anda sambil menggaruk-garuk kepala.

Sabar, sabar. Akan saya jelaskan.

Anda masih ingat pos "Mau Main Saham? Ingat Tiga Hal Maha Penting Ini"? Di pos tersebut saya berusaha meyakinkan anda betapa pentingnya anda melakukan cut-loss. Begitu pentingnya cut-loss sampai-sampai saya menyatakan (saya kutip dari pos tersebut):

Tidak ada yang bisa menyelamatkan anda dari kehancuran financial bila anda tidak pernah mau cut-loss.

Di sini saya akan tambahkan satu lagi alasan mengapa konsep cut-loss harus anda kuasai sejak awal anda belajar main saham:

Konsep cut-loss amat sangat penting bukan hanya karena ia bisa mencegah kehancuran finansial tapi juga karena ia bisa memaksimalkan keuntungan dari saham yang naik pesat.

Lho, kok bisa? 

Iya, bisa.


Karena untuk memaksimalkan keuntungan (profit) dari saham yang sedang naik, anda saya anjurkan menggunakan saudara dekat dari cut-loss yang namanya TRAILING STOP.

Apa sebenarnya trailing-stop ini? Silahkan lanjut baca ke pos "Cara Menjual Saham Agar Profit Maksimal (Bagian II)."
 






Pos-pos yang berhubungan:
[Pos ini ©2013 oleh Iyan terusbelajarsaham.blogspot.com. Hak Cipta dilindungi Undang-Undang.]

Wednesday, May 22, 2013

Valuasi Indeks Saham Indonesia Terlalu Tinggi?

Saya baru saja membaca artikel di koran Kompas tanggal 06 Maret 2013 yang berjudul "Valuasi Indeks Sudah Terlalu Tinggi."

Figure 1. Artikel Valuasi Indeks Bursa Efek Indonesia Sudah Terlalu Tinggi - Kompas, Rabu 6 Maret 2013

[Kalau anda bertanya-tanya, "Kenapa Bung Iyan kurang kerjaan, di bulan Mei membaca koran bulan Maret?", nah, ini topik berbeda dan akan saya tulis di pos yang lain.]

Artikel tersebut mengutip perkataan Kepala Riset dan Analisa UBS Securities, Joshua Tanja. "Kita berekspektasi indeks akan kembali ke level 4,500. Jadi, untuk saat ini silahkan mengambil keuntungan yang sudah diperoleh dari kenaikan indeks sebelumnya."

Saya kutip lebih lanjut dari artikel tersebut:

Menurut Joshua, valuasi IHSG saat ini sudah terlalu tinggi. Dengan kata lain, IHSG sudah berada di fase jenuh beli. Rasio harga terhadap laba bersih (PER) IHSG menuru Joshua, suda mencapai 16,2 kali. Diperkirakan, tingkat PER yang pas saat ini adalah pada kisaran 13 kali.

Inti dari artikel tersebut: harga saham-saham di Bursa Efek Indonesia sudah terlalu tinggi, alias sudah sangat mahal. Saatnya jual, tunggu turun, lalu beli lagi.

Sebagai informasi, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia pada tanggal 05 Maret 2013 tutup di angka 4751. Dua hari sebelumnya, tanggal 01 Maret, IHSG baru saja membuat rekor tertinggi (sampai saat itu) di angka 4811.

Nah, kalau IHSG di 4800 dinilai sudah terlalu tinggi, bagaimana dengan kondisi pada tanggal 20 Mei 2013 saat IHSG tutup di angka 5214?

Kalau 4800 sudah terlalu tinggi, 5200 seharusnya sudah amat sangat terlalu tinggi dong?

Terus terang, saya tidak tahu.

Lagipula, itu bukan pesan yang mau saya sampaikan di pos ini.

Pesan yang mau saya sampaikan adalah:


1. Jangan serta-merta langsung percaya pada apa yang anda baca, apa yang anda dengar.

Peter Lynch di bukunya One Up On Wall Street menyarankan anda untuk jangan langsung percaya pada siapapun. Di pos "Mau Investasi Saham? Baca Dulu Buku Peter Lynch 'One Up On Wall Street' (Bagian I)" saya merangkum perkataan Peter Lynch sebagai berikut:

Peter Lynch pada Bab Pendahuluan mengatakan bahwa ada satu hal utama yang perlu anda ketahui: Jangan mengikuti mentah-mentah saran para profesional! 

Jangan langsung percaya saran pakar ekonomi, jangan langsung mengikuti saran analis saham, jangan menelan bulat-bulat saran saya di blog ini, jangan pula langsung membeli saham rekomendasi Peter Lynch. 

Mengapa?

Jawabannya ada di nomor 2.


2. Analis bisa (sering) salah.

Tidak hanya analis-analis karbitan yang sering salah; analis kelas kakap yang bekerja di perusahaan sekuritas kelas dunia seperti UBS Securities pun bisa salah.

Coba anda bayangkan. Analis di perusahaan sekuritas kelas dunia tentu saja punya data yang lengkap, juga punya informasi terkini. Analis tersebut kemungkinan berpendidikan tinggi, punya gelar MBA, sudah lulus test CFA (Chartered Financial Analyst).

Data lengkap, informasi up-to-date, pendidikan tinggi, pengetahuan luas, pengalaman segudang. Kok masih salah?

Jawabannya ada di nomor 3.


3. Semua analisa saham, ujung-ujungnya adalah nebak.

Lho kok gitu, protes anda. Analisa fundamental kan berdasarkan laporan keuangan perusahaan. Kok dibilang nebak?

Laporan keuangan perusahaan adalah fakta masa lalu, sedangkan pergerakan harga saham selalu forward looking, memandang ke depan.

Coba anda pikirkan: siapa yang tahu apa yang akan terjadi di masa depan? Siapa yang tahu apakah perusahaan akan berhasil menghasilkan laba sebesar angka yang diprediksi analis? Siapa yang tahu apakah produk terbaru perusahaan akan laku keras di pasar? Kalau laku keras, berapa banyak yang akan terjual, berapa lama hal itu akan berlanjut?

Analis berbekal data lengkap bisa saja membuat educated guess, prediksi terpelajar. Tapi prediksi adalah tetap nebak. Anda bisa namakan prediksi, forecast, ramalan, prakiraan, target. Apapun namanya, ujung-ujungnya adalah nebak. Masih tidak percaya? Silahkan baca pos "Cara/Tehnik Menganalisa Saham."

Apakah ini artinya saya mengatakan analisa fundamental tidak perlu?

Sama sekali bukan begitu.

Analisa fundamental sangat penting untuk mengukur mahal-murahnya suatu saham. Tapi analisa fundamental bukan tipe analisa yang cocok untuk pasar yang sangat Bullish dan sangat Bearish. (Anda belum tahu arti Bullish dan Bearish? Silahkan baca pos "Arti 'Bullish' dan 'Bearish' di Arti Bullish dan Bearish di Bursa Saham.")

Dengan kata lain, ketika optimisme terlalu tinggi, saham yang sudah mahal, sudah tinggi harganya, bisa naik lebih tinggi lagi. Ketika pesimisme terlalu tinggi, saham yang sudah murah, sudah rendah harganya, bisa turun lebih rendah lagi. 

Karena alasan ini, pesan saya berikutnya adalah:


4. Jangan mendewakan satu cara dalam berinvestasi saham. 

Dunia ini penuh dengan orang-orang fanatik, yang menganggap hanya ada satu cara yang terbaik, hanya ada satu cara untuk melakukan sesuatu. Masalahnya, cara yang mereka anggap terbaik biasanya adalah satu-satunya cara yang mereka tahu, cara yang biasa mereka kerjakan.

Bagaimana mereka tahu dan begitu yakinnya bahwa cara mereka adalah yang terbaik, padahal mereka tidak pernah mempelajari cara yang lain?

Katakan saja anda untung besar investasi di saham tapi tidak pernah beli properti. Apakah dengan itu bisa anda simpulkan bahwa investasi saham adalah investasi yang terbaik? Bagimana kalau misalkan anda untung berlipat-lipat dari investasi properti tapi tidak pernah main saham. Apakah anda bisa dengan yakin menyatakan bahwa investasi properti lebih baik dari investasi saham? 

Saya sudah cukup tua dan berkecimpung cukup lama di dunia saham untuk menyadari bahwa TIDAK ADA CARA SATU-SATUNYA YANG TERBAIK UNTUK SEMUA ORANG. 

Ada cara terbaik untuk saya, ada cara terbaik untuk anda, tapi cara terbaik untuk saya tidak berarti adalah cara terbaik untuk anda.

Lagian, tidak ada analisa yang works all the time, yang selalu berhasil dan tidak pernah gagal. Kalaupun anda penganut aliran teknikal, sadarlah bahwa tidak ada analisa teknikal yang juga works all the time. Untuk lengkagpnya, silahkan baca pos "Prinsip Mendasar Analisa Teknikal (Technical Analysis) Bagian I." 

Kalau anda ingin sukses main saham, berusahalah untuk membuka pikiran anda dengan menerima hal-hal baru. Berusahalah menerima bahwa banyak jalan menuju Roma. Berusahalah menerima bahwa jalan yang anda pilih menuju Roma belum tentu jalan yang terbaik untuk orang lain. Berusahalah menerima perbedaan pandangan, sikap, tujuan, keyakinan, pendapat orang lain.

(Perhatikan: saya tidak meminta anda menerima pandangan orang lain. Yang saya minta adalah anda untuk menerima perbedaan pandangan, sikap, dll.)

Pasar saham hanya akan berfungsi kalau orang-orang punya pendapat yang berbeda. Kalau semua orang mau beli, tidak ada yang menjual, tidak ada saham yang bisa anda beli. Kalau semua orang mau jual, tidak ada yang mau beli, tidak ada saham anda yang terjual. 

Nah, sekarang sedikit intermezzo mengenai mengapa saya beralih dari analisa fundamental.

Saya sendiri sekarang condong memakai analisa teknikal. Saya meninggalkan analisa fundamental karena ketika mulai serius main saham di tahun 1990an, saya mendalami analisa fundamental tapi hasilnya saya rugi habis-habisan. Apakah ini berarti analisa fundamental itu jelek?

Sama sekali tidak.

Saya mengartikan kegagalan saya dikarenakan saya tidak mengerti betul analisa fundamental, dan juga karena analisa fundamental tidak cocok dengan bingkai-waktu main saham saya.

Kemungkinan yang lain adalah: saya memakai analisa fundamental ketika Krisis Moneter (krismon) menghantam Indonesia di tahun 1997. Ketika pesimisme amat sangat tinggi--seperti saya tulis di atas--saham yang sudah murah bisa turun menjadi lebih murah lagi. Kondisi seperti itu tidak berarti analisa fundamental jelek. Hanya saja, menerapkan analisa fundamental pada saat itu harus dibarengi dengan tingkat kesabaran tinggi (suatu karakter yang tidak saya miliki).

Kalau anda mau tahu saran saya menghadapi saham yang mencetak rekor harga tinggi terbaru, silahkan baca pos "Saham Naik ke Harga Tertinggi. Saatnya Jual?"         







Pos-pos yang berhubungan:
[Pos ini ©2013 oleh Iyan terusbelajarsaham.blogspot.com. Hak Cipta dilindungi Undang-Undang.] 

Saturday, May 11, 2013

Analisa Teknikal Saham Untuk Pemula, Bagian 4

Pos ini adalah lanjutan dari pos "Analisa Teknikal Saham Untuk Pemula, Bagian 3"

(Kalau anda ingin membaca seri ini dari awal silahkan klik di sini "Analisa Teknikal Saham Untuk Pemula, Bagian 1.")


D. Close/Last (Tutup)

Sekarang kita sampai pada harga Close, data harga yang oleh mayoritas pemain saham dianggap paling penting.

Mengapa dianggap paling penting? 

Ada banyak penjelasan mengenai ini. Salah satunya adalah bahwa harga Close adalah titik kesepakatan akhir dari para pembeli dan penjual saham pada perdagangan hari itu. Artinya, selama satu hari tersebut para pemain saham bernegosiasi dengan membeli (ketika saham turun) dan menjual (ketika saham naik); hasil akhir negosiasi tarik-ulur jual-beli tersebut terwujud dalam harga Close ini.

Alasan lain: harga Close ini, secara kronologis, adalah harga TERAKHIR dari perdagangan hari itu. Secara urutan waktu (kronologis) harga Open, High, dan Low terbentuk sebelum harga Close. Pada umumnya, kondisi terakhir adalah kondisi yang paling penting.

Nah, karena kedudukan harga Close yang penting ini, tidak heran kalau data harga inilah yang paling sering dipakai dalam analisa teknikal saham.

Anda sudah tahu posisi Close di mata pemain saham. Sekarang: Apa yang perlu anda perhatikan dari harga Close ini?

Ketika berdiskusi tentang Open, High, Low, kita membandingkan Open dengan Prv Price, High dengan High hari sebelumnya, Low dengan Low sebelumnya.

Begitu juga dengan Close: kita membandingkan Close dengan Close hari sebelumnya. 

Tapi tidak cuma itu.

Karena Close adalah AKHIR dari semua transaksi hari itu, kita bisa juga mengukur tingkat/level Bullish atau Bearish saham tersebut dengan membandingkan Close dengan harga Open, High, dan Low pada hari itu.

Jadi, ada empat perbandingan yang perlu anda lakukan:

I. Close hari ini vs. Close kemarin (Prv Price)
II. Close hari ini vs. Open hari ini
III. Close hari ini vs. High hari ini
IV. Close hari ini vs. Low hari ini

Yuk kita mulai.


I. Close Hari Ini vs. Close Kemarin (Prv Price)

Kalau Close hari ini lebih tinggi dari Close kemarin (harga saham naik) artinya saham tersebut relatif bullish. Makin tinggi Close hari ini di atas Close kemarin, makin Bullish.

Pada Tabel 1 di bawah anda bisa melihat bahwa TOTL pada tanggal 14 Mei 2007 Close di atas Prv Price. (Ingat: Prv Price adalah sama dengan Close kemarin.)

Tabel 1. Tanggal 14 May 2007 TOTL Close Di Atas Prv Price

Kalau Close hari ini sama dengan Close kemarin, tidak ada yang bisa disimpulkan. Kita perlu mengacu pada indikator lain untuk mengambil kesimpulan.

Pada Tabel 2 anda bisa melihat BDMN pada 29 Juli 2008 Close sama dengan Prev Price.

Tabel 2. Tanggal 29 Jul 2008 BDMN Close Di Prv Price

Kalau Close hari ini lebih rendah dari Close kemarin (harga saham turun), artinya saham tersebut relatif bearish. Makin rendah Close hari ini di bawah Close kemarin, makin Bearish.

Pada Tabel 3 anda bisa melihat pada tanggal 22 Oktober 2008 BMRI Close di bawah Prev Price.

Tabel 3. Tanggal 22 Oct 2008 BMRI Close Di Bawah Prv Price

Ketiga pernyataan di atas cukup jelas.



II. Close Hari Ini vs. Open Hari Ini

Dengan membandingkan Close vs. Open, ada tiga kemungkinan yang bisa terjadi:

a. Close di atas harga Open (Close > Open)
b. Close di harga Open (Close = Open)
c. Close di bawah harga Open (Close < Open)

Kalau Close di atas harga Open, saham tersebut relatif Bullish. Makin tinggi Close di atas harga Open, makin Bullish.

Kalau Close di harga Open, kondisi saham tidak bisa disimpulkan tanpa indikator lain.

Kalau Close di bawah harga Open, saham tersebut relatif Bearish. Makin rendah Close di bawah harga Open, makin Bearish.

Sampai di sini, semua cukup mudah dimengerti. Saatnya kita mengeruhkan suasana.

Perbandingan di atas tidak berhenti di sana. Karena kondisi Open berbeda-beda, kita perlu membandingkan Close dengan masing-masing kondisi Open.

Apa saja kondisi harga Open?

Di pos "Analisa Teknikal Saham Untuk Pemula, Bagian 2" saya menulis bahwa:

Yang perlu anda perhatikan dari Open adalah apakah harga Open ini di atas Prv Price, di Prv Price (harga penutupan kemarin), atau di bawah Prv Price. 

Kalau harga saham Open di atas Prv Price, saham tersebut relatif Bullish. Semakin tinggi Open di atas Prv Price, semakin Bullish.

Kalau harga saham Open di Prv Price, hal ini tidak berindikasi apa-apa.

Kalau harga saham Open di bawah Prv Price, saham tersebut relatif Bearish. Semakin rendah Open di bawah Prv Price, semakin Bearish.


Dengan adanya tiga kemungkinan kondisi Open ini, membandingkan Close vs. Open hari ini menghasilkan sembilan skenario yang berbeda.  

Mari kita teliti satu per satu.

Silahkan lanjut baca ke pos "Analisa Teknikal Saham Untuk Pemula, Bagian 5." 






Pos-pos yang berhubungan:
[Pos ini ©2013 oleh Iyan terusbelajarsaham.blogspot.com. Hak Cipta dilindungi Undang-Undang.]