Monday, March 31, 2014

Perangkat Keras Untuk Bermain Saham

Salah satu hal yang membedakan profesional dan non-profesional—selain keahlian (skill)—adalah alat kerja (tools) yang digunakan individu tersebut.

Memiliki kamera canggih tidak serta-merta menjadikan si pemilik sebagai fotografer profesional. Tapi rasa-rasanya sih tidak ada orang yang mau membayar mahal fotografer yang hanya berbekal kamera handphone.

Memang, alat tidak membuat seseorang menjadi profesional; tapi tanpa alat yang memadai seorang profesional sulit melakukan pekerjaannya dengan optimal.

Pertanyaannya: alat apa yang diperlukan untuk bermain saham?

Alat utama yang diperlukan pemain saham adalah monitor untuk memantau harga saham. Monitor ini bisa monitor komputer, tablet (iPad), handphone (smartphone). 

Nah, kalau anda pemain saham non-profesional, memantau harga saham di handphone mungkin sudah memadai. Bagaimana dengan pemain saham profesional? Apakah cukup memantau harga saham hanya melalui smartphone?

Saya sebagai pemain saham profesional hampir tidak pernah memakai smartphone untuk memantau saham.

Bagaimana dengan tablet?

Tablet juga tidak saya pakai karena menurut saya layarnya terlalu kecil.

Kalau komputer laptop/notebook?

Tetap saja, layarnya masih tidak cukup besar.

Jadi bung Iyan pakai apa dong? tanya anda.

Yang saya pakai adalah PC Desktop dengan video card untuk 2 monitor. Artinya, satu komputer bisa menampilkan output di 2 monitor. Saat ini monitor yang saya pakai masih LCD 17 inci yang relatif sudah kuno. Ada rencana untuk mengganti monitor ke ukuran lebih besar tapi tidak terlalu mendesak untuk saat ini.

Lagipula, mengganti sekaligus 4 monitor lumayan juga biayanya.

Kok 4 monitor? tanya anda lagi.

Oh iya, saya belum bilang ya kalau saya menggunakan 2 PC Desktop masing-masing dengan 2 monitor. Jadi, monitor LCD-nya ada 4. Set-up ini sudah saya pakai sekitar 10 tahun dan sampai saat ini cukup memuaskan. Silahkan lihat foto di bawah ini.

Figure 1. Meja trading Iyan

Pos ini tidak menganjurkan anda—kalau ingin main sahamuntuk membeli PC Desktop dengan 2 monitor. Mungkin smartphone, atau tablet, atau notebook sudah cukup untuk anda.

Tapi setahu saya hampir tidak ada pemain saham profesional yang hanya mengandalkan smartphone atau tablet atau notebook dalam menjalankan profesinya. Bahkan, hampir semua pemain saham profesional memakai MINIMUM 2 buah monitor untuk memantau pasar.

Bagaimana dengan anda? Apakah smartphone, tablet, atau notebook cukup untuk anda bermain saham? Atau malahan anda memakai 6 atau bahkan 8 monitor di meja kerja anda? Silahkan meninggalkan komentar di bawah.








Pos-pos yang berhubungan:

[Pos ini ©2014 oleh Iyan terusbelajarsaham.blogspot.com. Hak Cipta dilindungi Undang-Undang.]

    Friday, March 21, 2014

    Dampak Perubahan Satuan Lot & Fraksi Harga Saham (Bagian 3 - Tamat)

    Pos ini adalah lanjutan dari pos "Dampak Perubahan Satuan Lot & Fraksi Harga Saham (Bagian 2)."

    Untuk membaca pos ini dari awal, silahkan klik di sini "Dampak Perubahan Satuan Lot & Fraksi Harga Saham (Bagian 1)."


    Aksi bandar apa saja yang terganggu perubahan fraksi harga saham?

    Kalau anda sering memperhatikan "live trading", anda tahu bahwa ada bandar-bandar saham tertentu yang hobi tempel-cabut Bid/Offer. Nah, praktek tempel-cabut Bid/Offer ini termasuk aksi yang terganggu oleh perubahan fraksi harga.

    Apa itu aksi tempel-cabut Bid/Offer? Dan mengapa perubahan fraksi harga mengganggu praktek ini?

    Untuk lebih jelasnya, mari kita lihat ilustrasi berikut.

    Kalau anda sering memperhatikan order book Bid/Offer saham Suparma (SPMA) anda tahu bahwa pada kondisi normal, Bid dan Offer SPMA di setiap fraksi harga (lama ataupun baru) hanya ada beberapa ratus lot. Tapi ada saat-saat tertentuketika bandar hendak "menggoreng" saham tersebuttiba-tiba volume Bid SPMA menjadi puluhan ribu lot.

    Yang dilakukan bandar adalah sebagai berikut: untuk membuat kesan seakan-akan transaksi ramai, bandar membeli saham SPMA ke atas, lalu menempel Bid dengan volume besar pada harga tersebut. Dan ini dilakukan berulang kali. Beli ke atas, tempel Bid, beli ke atas, tempel Bid, beli ke atas, tempel Bid.

    Aksi tempel Bid ini membuat SPMA naik cepat. Pergerakan harga naik ini menarik perhatian pasar dan ada orang-orang (termasuk saya) yang terpancing ikut membeli.

    Ketika bandar merasa sudah cukup banyak "mangsa" yang ikut membeli di harga yang sudah naik ini, si bandar akan mencabut (withdraw) semua Bid di semua fraksi harga: yang tadinya ada Bid puluhan ribu lot, tiba-tiba tersisa hanya ratusan lot. Korban yang panik akan berusaha menjual (cut-loss) tapi karena Bid cuma sedikit, saham langsung anjlok ke harga semula.

    Nah, misalkan harga SPMA Rp 250. Pada fraksi harga lama, bandar bisa menaikkan harga saham dengan membeli di 255, lalu menempel Bid 10.000 lot di 255, membeli lagi di 260, menempel Bid 10.000 lot di 260, membeli di 265, menempel Bid 10.000 lot di 265. Kalau hal ini dilakukan terus sampai harga 285, berarti bandar menempel Bid di 7 fraksi harga dan harga saham naik Rp 35 (14%).

    Pada fraksi harga baru, aksi menempel Bid di 7 fraksi harga akan membuat SPMA naik dari 250 ke 257. Tapi kenaikan Rp 7 ini hanya 2.8%. Kalau bandar ingin menaikkan SPMA sampai dengan 285, aksi tempel-cabut harus dilakukan 35 kali. Semakin banyak kali berarti semakin banyak kerjaan untuk mendapatkan hasil yang sama. Tidak heran toh kalau bandar yang hobi tempel-cabut Bid/Offer tidak setuju dengan perubahan fraksi harga.

    SPMA adalah contoh aksi tempel-cabut Bid/Offer yang kasar. Tapi aksi tempel-cabut yang lebih halus pun terpengaruh perubahan fraksi harga.

    Misalkan pada fraksi harga lama saham BWPT Bid/Offer di 2000/2025. Kalau bandar sudah membeli banyak di 2000, ia bisa memasang Offer jual di 2025. Nah, untuk "memaksa" pemain lain membeli di 2025, si bandar akan menempel Bid jumlah lot besar di 2000, katakanlah 20.000 lot. Pemain lain yang mengira Bid ini adalah Bid sungguhan, akan membeli di 2025 karena khawatir kehabisan. Nah, setelah barang milik bandar di 2025 habis terjual, si bandar mencabut (withdraw) Bid-nya di 2000.

    Dengan fraksi baru, kalau si bandar melakukan aksi yang sama, ia harus "memaksa" pemain lain membeli dulu di 2005, 2010, 2015, 2020, barulah saham yang ia pasang di 2025 akan laku. Nah, aksi menempel Bid di 5 fraksi harga beresiko lebih tinggi dan menyita lebih banyak waktu dan tenaga daripada aksi menempel Bid hanya di 1 fraksi harga.


    Sampai di sini anda sudah melihat bahwa kelompok harga baru seharusnya membuat pasar lebih efisien. Anda juga sudah tahu bahwa fraksi harga baru mempersulit bandar memanipulasi pasar dengan aksi tempel-cabut Bid/Offer. Keduanya adalah hal yang positif bagi pemain saham kecil seperti anda.

    Apakah ada dampak lainnya bagi anda? Tentu saja ada.


    Dampak perubahan fraksi harga

    Kalau anda sudah lama main saham dengan fraksi harga lama, saya yakin anda merasakan bahwa fraksi harga baruyang mempersempit jenjang hargacenderung membuat saham aktif menjadi lebih "volatile" alias lebih bergejolak.

    Kok bisa?

    Mari kita lihat sebuah ilustrai lagi.

    Misalkan anda tertarik membeli saham BRAU yang harganya Rp 200.

    Pada fraksi harga lama, posisi Bid/Offer adalah 200/205. Artinya, anda bisa mengantri beli di harga 200 (tapi belum tentu kebagian) atau membeli langsung di harga 205. Perbedaan antara antri beli di Bid dan beli langsung di Offer adalah Rp 5 atau 2.5%.

    Pada fraksi harga baru, posisi Bid/Offer adalah 200/201. Artinya, anda bisa mengantri beli di harga 200 (tapi belum tentu kebagian) atau membeli langsung di harga 201. Perbedaan antara antri beli di Bid dan langsung beli di Offer adalah Rp 1 atau 0.5%.

    Dengan perbedaan Bid/Offer yang hanya 0.5%, besar kemungkinan banyak pemain saham yang merasa tidak perlu antri di 200 dan lebih baik LANGSUNG membeli di 201.

    Katakanlah anda termasuk orang yang niatnya membeli langsung di 201. Tetapi memasukkan order membeli langsung di 201 tidak berarti order tersebut pasti terlaksana. Bisa saja order anda keduluan order beli orang lain. Karena tidak terlaksana di 201, berarti order anda tersebut menjadi order Bid di 201.

    Nah, sementara anda menunggu Bid anda di 201 "match", ada orang lain yang berpikir "Wah, daripada nunggu di 201, lebih baik beli langsung di 202 deh." Dan hal ini bisa terjadi berturut-turut, mengakibatkan BRAU naik ke 203, 204, 205, 206,..., 215.

    Ketika BRAU naik ke 215, anda berpikir,"Kalau gue tunggu lagi, bisa-bisa BRAU naik ke 230 dan gue belum dapet." Langsunglah anda beli di 215. Tapi apa yang terjadi? BRAU sekarang turun ke 214, 213, 212, 211,..., 205.

    Mengapa hal ini bisa terjadi?

    Hal ini terjadi karena ada individu yang niat awalnya menjual di Offer 215. Karena tidak laku-laku, ia berpikir,"Aku beli di 205 dan sudah untung. Daripada mengantri lama di 215 tapi belum tentu laku, lebih baik aku jual langsung saja di 214. Lagipula, bedanya toh tidak seberapa."

    Masalahnya, ketika BRAU turun ke 214 lagi-lagi ada individu yang berpikir,"Daripada gak laku di 214, lebih baik gue jual langsung deh di 213." Dan hal ini bisa terjadi berturut-turut, menyebabkan BRAU turun ke 213, 212, 212, 211,..., 205. 

    Nah, pada fraksi harga baru siklus naik-turun di atas bisa terjadi berkali-kali dalam satu hari.

    Apakah ini dampak positif atau negatif?

    Bisa positif, bisa juga negatif.

    Artinya, kalau anda tahu apa yang seharusnya anda lakukan, anda bisa lebih sering mendapatkan untung dari gejolak harga yang naik-turun berulang-ulang. Tapi kalau anda tidak tahu apa yang seharusnya dilakukan, anda bisa rugi berkali-kali karena anda membeli di harga tinggi dan cut-loss di harga rendah.

    Dari ilustrasi di atas, jelas bahwa fraksi harga yang menyempit membuat volatilitas (gejolak) saham menjadi lebih tinggi. Volatilitas yang lebih tinggi membuka peluang untuk mendapat untung dari harga saham yang naik-turun. (Mohon diingat: membuka peluang mendapat untung TIDAK BERARTI anda pasti mendapat untung.)

    Nah, sampai di sini coba anda bandingkan pendapat saya di atas dengan pendapat "pakar-pakar" sok-tahu yang—sebelum aturan fraksi harga baru dilaksanakan—berkoar-koar meminta otoritas bursa membatalkan perubahan fraksi karena menurut mereka fraksi harga baru akan membuat trader lebih sulit mencari untung. 

    Logika mereka adalah sebagai berikut: pada fraksi harga lama, beli saham di 200 dan jual di fraksi berikutnya di 205 sudah untung . Dengan fraksi baru, beli di 200 dan jual di fraksi berikutnya di 201 belum untung.

    Saya tidak tahu "pakar-pakar" tersebut belajar logika di mana, tapi pendapat tersebut 100% tidak memakai akal sehat. Mengapa? Memangnya ada aturan bahwa anda harus menjual saham hanya 1 fraksi harga ke atas?

    Dengan fraksi harga baru, anda bisa membeli di 200 dan tetap bisa menjual di 205 kalau itu yang anda mau. Kan tidak ada yang memaksa anda harus menjual di 201.

    "Tapi, dengan fraksi harga baru, memasang jual di 205 kan belum tentu laku," kata pakar-pakar tersebut membela diri.

    Memangnya pada fraksi harga lama, anda jual di 205 pasti laku?

    Lagian, pada fraksi harga lama kalau saham anda tidak laku di 205 dan anda harus jual, berarti anda harus jual di 200. Pada fraksi harga baru, ada kemungkinan anda bisa jual di 201, 202, 203, atau 204.

    Tambahan lagi, dengan gejolak harga yang lebih tinggi, anda bisa beli di 200, jual di 204. Kalau saham masih naik, anda bisa beli lagi di 206 lalu jual di 210. Lalu ketika saham turun lagi ke 203, anda bisa beli lagi, dan jual lagi kalau naik.

    Itu teorinya. Prakteknya tentu saja tidak mudah. Tapi yang penting adalah peluang jual-beli makin banyak dengan fraksi harga baru.

    Kesimpulannya: Fraksi harga baru yang lebih sempit menguntungkan pembeli dan penjual, mempersulit bandar untuk mengerjai pemain saham-pemain saham kecil, dan menambah peluang mendapatkan untung dari gejolak harga saham. Tidakkah sebaiknya kita sambut dan manfaatkan perubahan tersebut?






    Pos-pos yang berhubungan:
    [Pos ini ©2014 oleh Iyan terusbelajarsaham.blogspot.com. Hak Cipta dilindungi Undang-Undang.] 

      Sunday, March 2, 2014

      Resiko & Masalah "Value Investing" Bagi Pemula

      Anda baru saja selesai membaca buku tentang Warren Buffet, tentang bagaimana ia menjadi salah satu investor terkaya di dunia karena menerapkan investasi jangka panjang "value investing."

      Terinspirasi buku tersebut, anda memutuskan untuk mengikuti jejak Warren Buffet menjadi "value investor". Mulailah anda menyelami analisa fundamental untuk mencari saham yang value/nilai-nya murah. (Silahkan baca pos "Apa Inti Analisa Fundamental.")

      Anda mengumpulkan data-data perusahaan, membaca laporan keuangan, menghitung rasio finansial. Setelah 3 bulan kurang tidur melakukan semua hal ini, anda menemukan saham PT Bagus Murah (kode saham PTBM) seharga Rp 2000 per lembar yang menurut anda memenuhi kriteria "value investing."

      Keesokan harinya, anda memasukkan order untuk membeli saham PTBM di harga 1950. Sebelum sesi perdagangan selesai, order beli anda terlaksana.

      "Ah, PTBM," pikir anda, "engkau adalah langkah pertamaku untuk menjadi Warren Buffet Indonesia."

      Nah, sambil menunggu cita-cita anda terwujud, izinkan saya bertanya: pernahkah anda memikirkan, kalau PTBM "value"nya murah di Rp 2000, kenapa anda bisa mendapatkan saham tersebut bahkan di bawah harga yangmenurut andamurah tersebut?

      Yang pasti bukan karena anda pintar membujuk penjual untuk memberi diskon. Toh, membeli saham di bursa tidak ada interaksi langsung anda penjual dan pembeli.

      Juga bukan karena saham PTBM yang anda dapatkan adalah saham KW(kualitas)2 atau KW3 karena saham tidak ada KW1 atau KW2 atau KW3: semua saham KWnya sama.

      Kalau begitu, apa penyebab anda bisa membeli PTBM di harga yangmenurut andanilainya murah?

      Untuk menjawab pertanyaan ini, anda terlebih dulu perlu tahu definisi "value." Nah, Jean V. Dubois mendefinisikan "value" suatu benda sebagai berikut:


      " . . . . The value of thing is always relative to a particular person, is completely personal and different in quantity for each living human—'market value' is a fiction, merely a rough guess at the average of personal values, all of which must be quantitatively different or trade would be impossible."

      Bahasa Indonesianya kira-kira begini:

      Nilai suatu benda selalu tergantung pada masing-masing individu, adalah sepenuhnya personal dan berbeda kuantitasnya untuk setiap manusia—'nilai pasar' adalah fiksi, hanyalah tebakan kasar dari rata-rata nilai menurut setiap individu, yang mana kuantitasnya harus berbeda atau jual-beli tidak mungkin terjadi.


      Dalam konteks main saham, definisi di atas menyatakan bahwa anda bisa mendapatkan saham yang—menurut andanilainya murah HANYA KALAU ada individu-individu lain yang menjual saham tersebut.

      Nah, mengapa individu-individu tersebut bersedia menjual di hargayang menurut andamurah? Apakah karena mereka murah hati? Apakah karena mereka ingin anda menjadi Warren Buffet Indonesia?

      Tentu saja tidak.

      Alasan mereka menjual di harga tersebut adalah karena menurut mereka harga saham tersebut nilainya mahal. Oke, kalaupun tidak mahal, setidak-tidaknya tidak murah.

      Kok begitu?

      Karena kalau semua pemain saham merasa bahwa nilai saham tersebut murah, tidak ada seorangpun yang menjual dan anda tidak akan mendapatkan saham di harga tersebut.
       

      Nah, menurut anda (pembeli) harganya murah; menurut penjual harganya tidak murah. Jadi, siapa yang benar?

      Pertanyaan tersebut akan terjawab hanya dengan berjalannya waktu.

      Artinya, kalau di masa depan harga saham PTBM naik, berarti valuasi si pembeli yang benar. Kalau di masa depan harga saham PTBM turun, berarti valuasi si penjual yang benar.

      Oke, mari kita misalkan dulu bahwa saham naik: anda yang benar. Kalau hal ini terjadi, cerita selesai. Cita-cita anda menjadi Warren Buffet bisa segera menjadi kenyataan.

      Tapi, menurut anda sejujurnya, berapa besar kemungkinan hal ini terjadi?

      Anda seorang "value investor" pemula yang masih hijau, baru saja menyelami analisa fundamental selama beberapa bulan, baru pertama kali membeli saham. Penjual bisa saja sudah main saham puluhan tahun, mungkin juga adalah investor yang kantongnya tebal, yang sudah mengerti analisa fundamental dan teknikal luar-dalam sebelum anda lahir.

      Nah, berapa besar kemungkinan bahwa anda yang benar?

      Kalau anda objektif, anda akan menjawab, "Kemungkinannya kecil."

      Setuju.

      Oke, mari kita lanjut dengan kemungkinan kedua: saham turun, berarti penjual yang benar. Kalau hal ini yang terjadi, anda menghadapi masalah besar pertama anda sebagai "value investor."

      Masalah besar? Masalah besar gimana?

      Mari kita bahas.

      Menurut analisa anda saham PTBM nilainya murah di harga Rp 2000. Tapi setelah anda beli, PTBM bukannya naik tapi malahan turun. Dan turunnya tidak tanggung-tanggung; dalam 3 bulan PTBM turun dari harga beli anda di 1950 ke 1500.

      Nah, harga PTBM yang turun menandakan bahwa valuasi anda salah. Apa yang seharusnya anda lakukan kalau anda salah?

      Kalau anda salah, seharusnya anda cut-loss. (Silahkan baca pos "Cara Cut-Loss Untuk Stop Kerugian Saham.")

      Masalahnya, analisa fundamental hampir TIDAK PERNAH secara gamblang menganjurkan cut-loss. Oleh sebab itu, banyak "value investor" pemula yang menyimpulkan bahwa investasi jangka panjang tidak perlu cut-loss, bahwa kalau harga saham turun, langkah selanjutnya adalah menunggu. Menunggu apa? Menunggu harga saham naik. (Silahkan baca pos "Arti Istilah 'Trading Plan'.")

      Menunggu saham naik bisa menjadi masalah besar untuk investor jangka panjang. Tapi masih ada masalah lain yang lebih berbahaya lagi karena cukup banyak "value investor" yang "cerdas" memakai logika.

      Logika yang mereka pakai bunyinya begini: kalau PTBM murah nilainya di 2000, bukankah PTBM di harga 1500 berarti nilainya LEBIH MURAH lagi? Kalau lebih murah, bukankah sebaiknya ia membeli lagi PTBM di harga yang lebih murah ini?

      Tindakan membeli lagi di harga lebih murah biasa disebut dengan istilah "averaging down." (Silahkan baca pos "Arti Istilah 'Averaging Down' Saham.")

      Masalahnya, bagaimana kalau setelah anda "average down" PTBM di harga 1500, harga PTBM melanjutkan anjloknya, katakanlah, ke harga 1000. Kalau 1950 murah, 1500 lebih murah, bukankah 1000 SANGAT LEBIH MURAH? Kalau sangat lebih murah, bukankah seharusnya anda beli LEBIH BANYAK lagi di harga 1000?

      Kalau setelah ke-sekian kali anda "average down" lalu harga PTBM naik, anda mungkin bisa balik modal atau bahkan untung. Tapi bagaimana kalau PTBM turun anda "average down", PTBM masih turun anda tetap "average down", dan PTBM masih saja turun dan anda sudah tidak punya uang untuk "average down" lagi?

      Pada saat itu saya yakin anda mulai menerima kenyataan pahit bahwa "value investing" tidak semudah yang anda bayangkan. Dan cita-cita anda untuk menjadi Warren Buffet Indonesia harus ditunda dulu untuk beberapa saat.


      Pesan yang ingin saya sampaikan di pos ini adalah:
      1. Value investing sangat sulit, tidak semudah penjelasan di buku atau seminar tentang Warren Buffet.
      2. Anda bisa mendapatkan saham yang menurut anda nilainya murah HANYA KALAU ada individu lain yang menganggap saham itu nilainya mahal (atau setidak-tidaknya tidak murah).
      3. Saham yang menurut anda nilainya murah bisa turun dan menjadi lebih murah lagi.
      4. Cut-loss bukan hanya harus dilakukan untuk trading saham jangka pendek tapi juga harus dilakukan untuk investasi saham jangka panjang.
      5. Terus membeli saham yang sedang terus turun karena menurut anda nilainya semakin murah adalah tindakan bodoh.







      Pos-pos yang berhubungan:
      [Pos ini ©2014 oleh Iyan terusbelajarsaham.blogspot.com. Hak Cipta dilindungi Undang-Undang.]