Saturday, June 23, 2012

Arti Istilah "Right Issue" di Bursa Saham Indonesia, Bagian I

(Catatan: Pos ini dikutip TANPA IZIN oleh Ellen May di cetakan pertama buku Smart Trader, Rich Investor, The Baby Steps. Silahkan baca pos "Ellen May dan Penerbit Berjanji Mencantumkan Sumber Kutipan Pada Buku Cetakan Berikutnya dan bandingkan isi buku tersebut dengan pos ini.)


"Right issue" adalah aksi korporasi yang dalam bahasa Indonesia disebut Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (HMETD). Apa sebenarnya "right issue" ini , bagaimana ikut serta "right issue" dan apa pengaruhnya bagi pemain saham?


Apa Itu "Right Issue"

Kata "right" pada "right issue" adalah bahasa Inggris yang artinya adalah "hak," bukan "right" yang berarti "kanan" bukan juga "right," yang artinya "benar, betul." "Issue" artinya "menerbitkan." Jadi kalau diterjemahkan kata per kata dari bahasa Inggris, "right issue" artinya "menerbitkan hak."

Pertanyaan selanjutnya: siapa yang menerbitkan "right"? Hak apa yang diterbitkan? Siapa yang berhak mendapat "right"? Mengapa "right issue"? Apa dampaknya?


Siapa Yang Menerbitkan "Right"

"Right" diterbitkan oleh perusahaan setelah mendapat persetujuan dari mayoritas pemegang saham. Artinya, "right issue" adalah aksi yang dipilih dilakukan oleh pemegang saham mayoritas. Kalau anda adalah pemegang saham jumlah kecil, anda mau tidak mau harus ikut keputusan mayoritas pemegang saham.


Hak Apa Yang Diterbitkan

Yang diterbitkan adalah hak ("right") memesan saham baru yang akan dijual oleh perusahaan. Yang boleh membeli saham baru ini adalah orang-orang yang memiliki "right." Tidak punya right, tidak bisa beli saham baru.

Dengan kata lain, yang boleh membeli saham baru (menyetor modal tambahan) adalah pemegang saham lama. Kalau anda bukan pemegang saham, anda tidak boleh ikut beli saham baru.

Coba anda bandingkan "right issue" dengan "IPO" dengan membaca pos "Arti Istilah 'IPO' di Bursa Saham."


Siapa yang Berhak Mendapat "Right" 

Yang mendapat "right" adalah pemegang saham yang memiliki saham sampai hari EX "right issue." (Untuk mengerti istilah "ex, " silahkan klik dan baca pos "Arti Istilah 'Cum' dan 'Ex' Dividen.") Persentase "right" yang mereka miliki adalah sama dengan persentase kepemilikan saham mereka pada perusahaan.


Mengapa "Right Issue"

Tujuan "right issue" adalah menambah modal perusahaan. Mengapa perlu menambah modal perusahaan? Mari kita lihat ilustrasi berikut.

Aletta dan Mirnia pada tahun 2010 masing-masing menyetor modal sebesar Rp 50 juta (total Rp 100 juta) untuk berkongsi berdagang pakaian wanita di pasar Cengkareng. Dalam dua tahun ini, toko mereka padat dikunjungi pembeli. Sukses toko ini mendorong Aletta dan Mirnia untuk membuka toko kedua di pasar Bojong.

Masalahnya, untuk membuka toko di Bojong ini mereka butuh modal Rp 100 juta, sedangkan kas perusahaan (dari laba yang didapat selama dua tahun ini) cuma ada Rp 40 juta. Artinya, mereka butuh suntikan modal Rp 60 juta. Kalau dilakukan di bursa saham, proses suntikan modal inilah yang disebut "right issue."


Dampak "Right Issue"

"Right Issue" berdampak pada PERSENTASE kepemilikan saham.

Perhatikan: pada tahun 2010 Aletta dan Mirnia masing-masing memiliki 50% saham pada toko mereka. Kepemilikan 50% ini memberi mereka "hak memesan" 50% saham baru yang akan mereka terbitkan.

Dalam konsep "right issue" besarnya hak memesan saham baru adalah sama dengan PERSENTASE kepemilikan pada saat itu. Kalau memiliki 50% saham berarti berhak membeli sampai dengan 50% saham baru; kalau memiliki 10% saham berarti berhak membeli sampai dengan 10% saham baru.

Pada contoh di atas, Aletta dan Mirnia masing-masing berhak memesan sampai dengan 50% saham baru (50% dari Rp 60 juta = @ Rp 30 juta). Kalau mereka masing-masing menyetor Rp 30 juta, kepemilikan saham mereka dalam struktur baru tetaplah sama.

Satu hal yang sangat penting: Pemegang saham lama mempunyai "hak memesan" saham baru tapi ini adalah hak, bukan kewajiban. Artinya mereka boleh saja TIDAK menggunakan hak mereka.

Jadi misalnya Mirnia hanya mau menyetor Rp 10 juta dan memberikan hak yang tidak ia gunakan ke Aletta. Ini berarti Aletta menyetor Rp 30 juta haknya dan Rp 20 juta dari hak yang dialihkan Mirnia, total Rp 50 juta. Ini berarti Mirnia melepaskan sebagian haknya yang menyebabkan PERSENTASE kepimilikannya mengecil.

Figure 1. Persentase Kepemilikan Sebelum dan Sesudah Right Issue

Karena tidak menggunakan "hak memesan" sepenuhnya, Mirnia yang semulanya memiliki 50% saham, setelah "right issue" hanya memiliki 37.5% saham.
 
Ilustrasi di atas adalah contoh "right issue" ketika pemegang saham hanya dua orang. Di bursa saham, pemegang saham jumlahnya ribuan atau lebih. Tapi konsepnya sama. Kalau anda menggunakan semua "hak memesan" anda, persentase kepemilikan saham anda tetap sama. Kalau anda tidak menggunakan semua "hak memesan" anda, persentase kepemilikan saham anda akan terdilusi/mengecil.

Sekarang anda sudah tahu apa itu "right issue," mengapa "right issue" dilakukan, dan dampaknya bagi pemilik modal. Tapi bagaimana cara main "right issue" di Bursa Saham Indonesia? Silahkan lanjut baca ke pos "Arti 'Right Issue' di Bursa Saham Indonesia, Bagian II." [Belum terbit. Mohon berkunjung kembali.]

Figure 2. Buku Ellen May Smart Trader Rich Investor Jiplak Blog Terus Belajar: Main Saham
 
Figure 3. Buku Ellen May Smart Trader Rich Investor, The Baby Steps Jiplak Blog Terus Belajar: Main Saham







Pos-pos yang berhubungan:
[Pos ini ©2012 oleh Iyan terusbelajarsaham.blogspot.com. Hak Cipta dilindungi Undang-Undang.]

Saturday, June 9, 2012

Saham yang Layak Dibeli Menurut Analisa Teknikal

Ketika anda "shopping" apa yang anda cari? Anda mencari "good deal"; anda mencari diskon; anda mencari produk yang sedang promosi beli satu gratis satu. Intinya, ketika berbelanja anda berusaha mencari produk yang harganya lebih murah dari biasanya. Makin murah makin baik.

Tidak heran kalau mayoritas pemain saham melakukan hal yang sama ketika membeli saham: mereka mencari saham yang "murah," saham yang memberi diskon dari harga normal. Dengan kata lain, mereka hanya tertarik membeli saham yang harganya turun. Makin dalam turunnya, makin murah. Makin murah, makin menarik untuk dibeli.

Tapi membeli saham yang murah, yang anjlok dalam, bertolak belakang dengan Prinsip Ketiga analisa teknikal yang bunyinya "Sebelum anda percaya analisa teknikal, anda harus terlebih dulu percaya pada dalil momentum." [Untuk jelasnya, silahkan baca pos "Prinsip Mendasar Analisa Teknikal (Technical Analysis) Bagian I & II".]

Mengapa?

Dalil momentum menyatakan bahwa apa yang sedang turun cenderung melanjutkan momentum turunnya; apa yang sudah murah biasanya menjadi lebih murah lagi.

Coba anda cerna. Satu-satunya tujuan anda membeli saham adalah untuk mendapat untung. Artinya anda berharap untuk menjual saham tersebut di harga lebih tinggi. Tapi menurut dalil momentum, saham yang sudah "murah" cenderung akan tambah "murah." Kalau yang murah bertambah murah, harapan menuai untung dari membeli saham "murah" biasanya malah berakhir buntung.

Kalau saham yang sudah "murah" jangan dibeli, saham bagaimana yang layak dibeli?

Menurut analisa teknikal, saham yang layak dibeli adalah saham yang harganya sedang NAIK.

"Nah lho? Gak salah tuh?" sergah anda.

Sama sekali tidak salah. Saya ulangi sekali lagi:

Menurut analisa teknikal, saham yang layak dibeli adalah saham yang harganya sedang NAIK.

Apakah ini berarti anda akan untung setiap kali membeli saham yang sedang naik?

Tidak semudah itu. Teorinya sederhana. Prakteknya rumit.

Perlu anda ingat bahwa saham bergerak naik-turun. Selalu. Tidak ada saham yang naik terus tanpa turun. Tidak ada juga saham yang turun terus tanpa naik.

Sering terjadi setelah anda membeli saham yang sedang naik, saham tersebut berbalik arah turun. Tidakkah hal ini menganulir teori untuk membeli saham yang sedang naik?

Sama sekali tidak.

Dalil momentum tidak menyatakan bahwa saham yang naik akan terus naik tanpa turun. Dalil momentum menyatakan bahwa saham yang sedang naik CENDERUNG akan tetap naik. (Mau tahu definisi saham yang sedang cenderung naik? Silahkan baca pos "Definisi Uptrend, Downtrend, Sideway.")

Praktek yang sulit adalah menentukan saham mana yang CENDERUNG naik. Itulah sebabnya berbagai ragam analisa teknikal diciptakan untuk menjawab pertanyaan ini. Tapi intinya tetap satu: Analisa Teknikal merekomendasi beli saham yang sedang naik. Bukan saham yang "murah."

Memang, membeli saham yang naik, apalagi yang sudah naik tinggi, sangat bertentangan dengan sifat manusia yang ingin mendapat diskon. Saya sendiripun pada awalnya tidak percaya. Tapi dari pengalaman main saham belasan tahun, saya lebih sering mendapat laba dari saham yang sedang naik, bukan dari saham yang sudah "murah."

Apakah ini berarti saham "murah" tidak layak dibeli?

Tidak begitu. Memang, analisa teknikal tidak memasukkan saham "murah" dalam daftar layak beli, tapi ada analisa cara lain yang tujuannya mencari saham "murah." Silahkan baca pos "Apa Inti Analisa Fundamental?"








Pos-pos yang berhubungan:
[Pos ini ©2012 oleh Iyan terusbelajarsaham.blogspot.com. Hak Cipta dilindungi Undang-Undang.]