Pos ini adalah lanjutan dari “Investasi Saham Cara Peter Lynch di Buku ‘One Up on Wall Street’ (Bagian IV).”
Hendak membaca pos ini dari awal? Silahkan klik di sini "Mau Investasi Saham? Baca Dulu Buku Peter Lynch 'One Up on Wall Street' (Bagian I)."
V. Laba, Laba, Laba
Apa yang membuat perusahaan berharga sehingga harga sahamnya naik? Ada banyak teori untuk menjawab pertanyaan ini tapi bagi Peter Lynch, jawabannya adalah laba dan asset. Terutama laba.
Anda mungkin pernah memperhatikan bahwa saham INCO, perusahaan penambang nikel, naik ketika harga nikel naik. Atau saham Apple naik karena iPhone dan iPad laku keras.
Kalau anda perhatikan dengan seksama, ujung-ujung sebab kenaikan harga saham-saham tersebut adalah karena pasar memproyeksikan laba perusahaan akan naik. Artinya, pasar yakin laba INCO akan naik karena harga nikel naik; pasar yakin laba Apple akan naik karena produknya laku keras. Proyeksi kenaikan laba inilah yang mendorong pelaku pasar memborong saham, mendongkrak naik harga.
Tapi bagaimana menggunakan data laba perusahaan untuk membandingkan saham?
Misalkan anda membaca bahwa laba Indosat (ISAT) tahun 2010 adalah Rp 500 milyar dan laba Matahari Putra Prima (MPPA) adalah Rp 50 milyar. Apakah ini berarti keuntungan ISAT lebih besar dari MPPA, jadi anda lebih baik membeli saham ISAT?
Bukan begitu.
Anda jangan menggunakan data laba absolut untuk membandingkan saham. Yang pertama harus anda lakukan adalah menghitung laba per saham (earning per share atau biasa disingkat EPS).
Misalkan saja jumlah saham beredar ISAT satu milyar lembar dan jumlah saham beredar MPPA juga satu milyar lembar. Anda dapat menghitung laba per saham masing-masing:
Earning Per Share (EPS) ISAT = Rp 500 milyar / 1 milyar = Rp 500.
Earning Per Share (EPS) MPPA = Rp 50 milyar / 1 milyar = Rp 50.
Nah, sekarang anda tahu bahwa pada tahun 2010 EPS ISAT Rp 500 dan EPS MPPA Rp 50. Berarti anda lebih baik membeli saham ISAT karena EPSnya lebih tinggi dari MPPA?
Bukan begitu. Masih ada satu tahap perhitungan lagi.
EPS adalah informasi yang penting, tapi untuk mempermudah proses membandingkan satu saham dengan saham yang lain, anda perlu menghitung price/earning ratio (PER), rasio harga terhadap laba. (Price/harga yang dimaksud di sini adalah harga saham.) Cara menghitung PER adalah dengan membagi harga saham dengan EPS.
Melanjutkan contoh di atas, misalkan harga saham ISAT Rp 5000 dan harga saham MPPA Rp 1000. Mari kita hitung PER masing-masing:
Price Earning Ratio (PER) ISAT = Rp 5000 / Rp 500 = 10
Price Earning Ratio (PER) MPPA = Rp 1000 / Rp 50 = 20
Nah, sekarang anda tahu bahwa pada tahun 2010 PER ISAT adalah 10 dan PER MPPA 20. Kalau anda memakai logika matematika, anda berkesimpulan bahwa semakin rendah PER berarti semakin murah saham tersebut. Karena PER ISAT lebih rendah dari PER MPPA berarti ISAT lebih layak dibeli?
Lagi-lagi bukan begitu.
Analis atau pemain saham biasanya membandingkan PER saham satu dengan saham lain di industri yang sama. Artinya, PER ISAT—perusahaan telekomunikasi—biasanya dibandingkan dengan PER perusahaan telekomunikasi lainya. PER MPAA—perusahaan ritel—biasanya dibandingkan dengan PER perusahaan ritel lainnya. Dengan membandingkan PER saham-saham di satu sektor industri, anda bisa mengira-ngira apakah saham itu murah, wajar, atau mahal RELATIF terhadap saham lain di industri sejenis.
Membandingkan PER tidak hanya dilakukan pada saham-saham di industri yang sama. Anda juga bisa membandingkan PER berdasarkan negara atau berdasarkan tahun tertentu.
Membandingkan PER tidak hanya dilakukan pada saham-saham di industri yang sama. Anda juga bisa membandingkan PER berdasarkan negara atau berdasarkan tahun tertentu.
Peter Lynch mengingatkan bahwa PER perusahaan dalam industri yang sama tidak selalu harus dalam kisaran PER yang sama. Misalkan saja kita membandingkan Dell Computer dengan Apple Computer, dua perusahaan dalam industri sejenis. PER Dell saat ini 11 dan PER Apple 20. Berdasarkan PER saja anda mungkin mengambil kesimpulan bahwa saham Apple mahal dan tidak layak dibeli. Tapi kenyataanya bisa saja saham Apple yang mahal malah terus naik dan saham Dell yang murah malah tidak naik. Mengapa hal ini terjadi?
Untuk menjawab pertanyaan ini anda harus mengingat enam kategori perusahaan menurut Peter Lynch: Slow Grower, Stalwart, Fast Grower, Cyclical, Asset Play, atau Turnaround. (Untuk lebih jelas mengenai kategori perusahaan, silahkan baca pos “Investasi Saham Cara Peter Lynch di Buku ‘One Up on Wall Street (Bagian I).”dan pos "Enam Kategori Saham Menurut Peter Lynch.")
Perusahaan dalam kategori berbeda akan mempunyai kisaran PER yang berbeda. Artinya, perusahaan Fast Grower biasanya ber-PER lebih tinggi dari Slow Grower atau Stalwart. Perusahaan Asset Play bisa saja ber-PER sangat tinggi tapi sahamnya tetap naik karena yang membuat perusahaan tersebut berharga adalah assetnya, bukan labanya.
Jadi, hanya karena PER Apple Computer relatif tinggi, tidak serta-merta berarti saham tersebut mahal dan tidak layak dibeli. PER Apple tinggi mungkin karena ia berkategori Fast Grower, sedangkan PER Dell rendah karena ia berkategori Slow Grower.
Tapi Peter Lynch juga mewanti-wanti anda untuk menghindari saham dengan PER amat sangat tinggi. Saham ber-PER tinggi harus terus menerus mendongkrak naik laba untuk menjustifikasi harga sahamnya yang tinggi. Kalau perusahaan tidak memenuhi ekspektasi ini, harga saham akan turun drastis.
Future Earnings – Laba Masa Depan
Main saham akan jauh lebih mudah kalau pemain saham bertransaksi saham berdasarkan PER masa lalu. (Ingat, data laba perusahaan yang dipublikasikan adalah data masa lalu, bukan masa berjalan atau masa datang. Jadi, pada tahun 2011 kita hanya tahu PER nyata tahun 2010, bukan PER nyata 2011 karena tahun 2011 masih berjalan. Kalau ada analis yang mempublikasikan PER tahun berjalan, PER tersebut adalah PERKIRAAN.)
Tapi masalahnya, pemain saham selalu berusaha memperkirakan laba perusahaan di masa datang, lalu memutuskan membeli atau menjual saham berdasarkan perkiraan tersebut. Analis memakai berbagai metode untuk memperkirakan Laba Masa Depan, tapi intinya hanya satu: semua hanyalah perkiraan. Jadi kalau ada yang memberitahu anda bahwa analisa fundamental adalah cara terbaik menilai harga saham wajar, tanyakan dulu apa asumsi dan perkiraan yang dipakai dalam analisa tersebut.
[Untuk lebih jelasnya, silahkan baca juga pos "Price-to-Earnings Ration: Trailing & Forward."]
[Untuk lebih jelasnya, silahkan baca juga pos "Price-to-Earnings Ration: Trailing & Forward."]
Sangatlah sulit mengira-ngira Laba Masa Depan—bahkan untuk analis atau pemain saham professional—tapi setidaknya anda bisa mencari tahu apa dan bagaimana rencana perusahaan untuk mendongkrak laba. Pada dasarnya, ada lima cara perusahaan mendongkrak laba: mengurangi biaya, menaikkan harga, ekspansi ke pasar yang baru, menjual lebih banyak ke pasar lama, atau menutup usaha yang merugikan. Setelah anda tahu rencana perusahaan untuk meningkatkan laba, anda harus memantau secara berkala apakah rencana tersebut berjalan lancar.
Selain Price Earning Ratio (PER), masih ada beberapa istilah dan angka yang perlu diketahui investor saham. Mau tahu? Lanjutkan baca ke “Investasi Saham Cara Peter Lynch di Buku ‘One Up on Wall Street’ (Bagian VI).”
Pos-pos yang berhubungan:
Pos-pos yang berhubungan:
- Arti Istilah Earning Per Share (EPS)
- Arti Istilah Price-to-Earnings Ratio (PER)
- Price-to-Earnings Ratio: Trailing & Forward
No comments:
Post a Comment
Pertanyaan dan komentar anda akan saya jawab sesegera mungkin. Maaf, saya tidak menerima pertanyaan dan komentar anonim/unknown. Promosi, iklan, link, dll, apalagi hal-hal yang tidak berhubungan dengan main saham TIDAK AKAN ditampilkan.