Tuesday, February 18, 2020

Investasi Saham Jangka Panjang atau Trading Saham Cepat?

Investasi saham jangka panjang. Atau trading saham jangka pendek?

Gerald Loeb membahas juga topik ini di buku The Battle for the Investment Survival.



. . . are we learning to trade for the quick turn or to invest for the long pull?

. . . apakah kita belajar trading saham cepat atau investasi untuk jangka panjang?


Ini yang ditulis Gerald Loeb:


1. We are investing for appreciation, and the length of time one holds a position has nothing to do with it.

Kita berinvestasi untuk mendapat untung, dan hal ini tidak ada hubungannya dengan jangka waktu seseorang memegang saham.

Dengan kata lain, Gerald Loeb menyatakan bahwa tidak masalah trading saham jangka pendek ataupun investasi saham jangka panjang. Yang penting untung.



2. I lean towards rather short turns for many reasons. . . To begin with, experience is gained much more rapidly that way.

Saya (Gerald Loeb) cenderung memilih trading jangka pendek karena banyak alasan. . . Alasan pertama, pengalaman akan lebih cepat didapat dari trading jangka pendek.

Kok bisa?

Dengan trading saham jangka pendek, misalkan bingkai waktu 1 minggu, seseorang akan membeli dan menjual saham sebanyak 52 kali dalam setahun (dengan asumsi 1 tahun = 52 minggu).

Dengan investasi saham jangka panjang, misalkan bingkai waktu 1 tahun, seseorang akan membeli dan menjual saham sebanyak 1 kali dalam setahun.

Melakukan jual-beli saham 52 kali memberikan 52 pengalaman. Melakukan jual-beli saham 1 kali memberikan hanya 1 pengalaman.



3. Short-term investing once mastered has very much more the elements of dependable business than the windfalls or calamities of the long pull. One simply can't continue to buy and sell successfully without being "good."

Investasi saham jangka pendek, setelah anda tahu caranya, akan memberikan penghasilan yang lebih konsisten daripada investasi jangka panjang yang kadang untung kadang buntung. Seseorang tidak bisa konsisten untung jual-beli saham kalau ia tidak "jago."
 


4. There is a much more peace of mind in frequent turns . . . Long worrying declines, without apparent reason until the near bottom, are avoided.

Pikiran akan lebih tenang dengan trading cepat . . . karena kita terhindar dari saham yang turun terus-menerus dalam periode yang lama.



5. One can take a fresh view often.

Dengan trading saham cepat, seseorang bisa selalu melihat dari perspektif baru.




Pos-pos yang berhubungan:
[Pos ini ©2020 oleh Iyan terusbelajarsaham.blogspot.com. Hak Cipta dilindungi Undang-Undang.] 

12 comments:

  1. Udah berapa bulan gak buka blog nya. Mas iyan abis lagi galau porto merah semua haduh.
    Lagi berdarah darah smua regional akibat corona
    Terima kasih ilmunya bang iyan.

    ReplyDelete
  2. Kalau menurut mas iyan binary option bagaimana.. Soalnya sudah 3 bulan saya beralih dari trading saham ke option.. Padahal saya 6 thn di saham music los 150jt..sedangkan di option baru 3 bulan sudah loss 50 it..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Options saham (termasuk Binary Options) adalah "derivative" alias "turunan" dari saham.

      Untuk SETIAP saham, ada banyak Options untuk saham tersebut.

      Dari pilihannya saja sudah terlihat bahwa main Options saham JAUH LEBIH RUMIT daripada main sahamnya.

      Memang, untuk yang mengerti Options, ia bisa meraih keuntungan jauh lebih besar daripada saham.

      Tapi untuk investor pada umumnya, menurut saya, relatif lebih sulit mendapat untung dari Options dibandingkan dari saham.

      Kesimpulan saya: kalau belum bisa untung dari trading saham, kemungkinan besar juga tidak akan untung dari trading Options.

      Delete
  3. Met pagi pak iyan...
    Saya kira dampak corona ini efek akan panjang ke BEI di tambah kasus AJ dan Dapen Asabri. Saya ingin belajar saham luar , karena saya pernah nonton diyoutube cara jual beli saham amerika dan eropa.
    Yàng mau saya tanyakan apakah pak iyan punya pengalaman berdagang saham amerika atau eropa??? Tolong beri post nya ya pak. Terimakasih banyak.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Maaf, belum ada pos tentang trading saham Amerika atau Eropa.

      Tapi...

      Analisa Teknikal asalnya adalah dari Amerika/Eropa/Jepang. Dan bisa diterapkan di bursa-bursa lain, termasuk Indonesia.

      Artinya juga, Analisa Teknikal yang saya bahas di blog ini bisa dipakai untuk trading saham Amerika/Eropa.

      Delete
  4. Pak Iyan, salam kenal.
    Saya bisa minta rekomendasi buku untuk saya baca dan pelajari. Buku luar dan dalam negeri tidak masalah. Saya sendiri sudah lebih dari 5 tahun di market, tapi saya akui I'm a lousy trader. Terima kasih

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ada cukup banyak pos di blog ini yang membahas buku trading. Coba anda browse.

      Silahkan baca juga pos "Koleksi Buku Main Saham Iyan Terus Belajar Saham."

      Delete
  5. Thanks pak Iyan, sudah saya temukan blognya.

    Pak jika pak Iyan boleh memilih 3 buku dari sekian banyak buku yang bapak punya, buku mana yang bapak rekomendasikan?

    Thanks pak

    ReplyDelete
    Replies
    1. Belajar saham seharusnya dari sebanyak mungkin buku.

      Tapi kalau harus memilih 3 buku saja, ini pilihan saya:

      1. The Battle for Investment Survival by Gerald Loeb.

      2. One Up On Wall Street by Peter Lynch.

      3. How I Made $2,000,000 in the Stock Market by Nicholas Darvas.

      Delete
  6. Thank you pak.
    Saya lagi beralih dari buku2 fundamental, ke buku2 teknikal. Saya baru baca buku Oneill dan Minervini. Ulasan bapak mengenai buku oNeill sudah saya baca.

    Ok pak Iyan, saya akan coba mulai membaca buku yang rekomendasika , sblm beralih ke buku2 lain.

    Thanks again

    ReplyDelete
  7. Pak Iyan, salam kenal.
    Terima kasih untuk tulisan2 Bapak...
    Dari membaca tulisan Bapak, setidaknya saya belajar untuk tidak gegabah dalam mengambil keputusan dan belajar untuk mencerna ulang berbagai referensi yang saya dapatkan dari buku2 yang isinya jualan saja.

    Pak Iyan, saya mau bertanya jika Bapak berkenan. Saya adalah pemula yang baru belajar, baik dengan membaca buku, nonton video youtube, maupun praktek.

    Yang saya ingin tanyakan tentang konsep Dollar Cost Averaging, Pak. Seperti yang sudah Bapak ketahui konsepnya, saya ingin bertanya...

    Misal nih, Pak... Saya beli saham A di harga 1000 dengan modal 1jt, saya akan mendapatkan 10 lot saham di bulan pertama.

    Di bulan kedua, saya ingin membeli saham A itu kembali dengan konsep dollar cost averaging dengan modal 1jt lagi, tapi harga saham sudah naik menjadi 1075 misalnya.
    Berarti di bulan kedua ini dengan nominal 1jt saya akan mendapatkan saham 9 lot dengan nominal kurang 1 jt, atau saham 10 lot dengan nominal diatas 1jt.

    Lalu kalo begitu bagaimana ya, Pak? Jadinya di bulan ke dua, ketiga dan seterusnya, saya tidak akan genap menabung saham 1jt kan ya, Pak.

    Sedangkan kalo dollar cost averaging seperti yang dikatakan dibuku2, menabung dengan jumlah nominal yang sama. Apakah dengan contoh seperti yang saya paparkan diatas, apakah saya masih melakukan konsep dollar cost averaging atau tidak?

    Mohon pendapatnya, Pak. Terima kasih dan sukses selalu buat Bapak

    ReplyDelete
    Replies
    1. Dear Hesti,

      Terima kasih untuk pertanyaan anda yang detil.

      Konsep Dollar (Rupiah) Cost Averaging adalah membeli saham dengan NOMINAL Dollar/Rupiah yang sama.

      Jadi, menjawab pertanyaan anda, misalkan di bulan pertama anda beli saham A Rp 1000 sebanyak 10 lot = Rp 1 juta.

      Kalau harga saham A naik di bulan kedua, misalkan ke harga Rp 1100, anda beli TETAP sejumlah Rp 1 juta. Berarti jumlah lot yang anda beli TIDAK sampai 10 lot, tapi sebanyak 9 lot (9 lot x Rp 1100 = 990ribu).

      Kalau harga saham A turun di bulan kedua, misalkan ke harga Rp900, anda beli TETAP sejumlah Rp 1 juta. Berarti jumlah yang anda beli adalah 11 lot (11 lot x Rp 900 = Rp 990 ribu).

      Perlu saya tekankan di sini bahwa Dollar Cost Averaging adalah KONSEP yang bagus.

      Konsepnya bagus, tapi eksekusinya relatif tidak mudah untuk saham.

      Menurut saya, Dollar Cost Averaging lebih cocok kalau dilakukan pada REKSADANA.

      Mengapa relatif sulit menerapkan Dollar Cost Average di saham?

      Ada banyak faktor.

      Salah satu faktor adalah BELUM TENTU ANDA BISA melaksanakan membeli saham dalam jumlah nominal (relatif) sama. Terutama kalau jumlah modal relatif kecil dan harga saham yang dibeli relatif tinggi.

      Maksud saya begini:

      Misalkan anda ingin Dollar Cost Averaging sebesar nominal Rp 1 juta pada saham A.

      Bulan pertama harga A Rp 2500. Anda beli 4 lot (400 lembar saham x 2500 = Rp 1 juta).

      Bulan kedua harga A turun ke Rp 2200. Anda beli hanya 4 lot (hanya Rp 880.ooo). Tidak sampai Rp 1 juta.

      Kenapa?

      Karena kalau mau beli 5 lot, harus bayar 500 x 2200 = Rp 1.1 juta.

      Bulan ketiga harga saham A naik ke Rp 2900. Anda bisa beli hanya 3 lot (Rp 870.000). Lagi-lagi tidak sampai Rp 1 juta.

      Jadi kesimpulannya: KONSEP Dollar Cost Averaging sangat baik. Konsep ini mengajarkan kita untuk KONSISTEN.

      Masalahnya, situasi pasar belum tentu memberi kesempatan kita untuk melaksanakan Dollar Cost Averaging dengan konsisten.

      Nah, anda mungkin berpikir: bagaimana kalau belinya saham yang nominalnya kecil, misalnya Rp 100?

      Benar, membeli saham yang nominalnya kecil akan mengurangi masalah di atas. Tapi timbul masalah baru.

      Masalah apa?

      Karena saham nominal kecil relatif lebih spekulatif, melakukan Dollar Cost Averagin pada saham jenis ini berarti investasi anda HIGH RISK.

      Jadi, kalau anda ingin Dollar Cost Averagin, sebaiknya lakukan di reksadana.

      Di reksadana, setiap bulan anda BISA beli unit senilai Rp 1 juta. Dan reksadana (yang tidak abal-abal) seharusnya terdiversifikasi dengan baik.

      Delete

Pertanyaan dan komentar anda akan saya jawab sesegera mungkin. Maaf, saya tidak menerima pertanyaan dan komentar anonim/unknown. Promosi, iklan, link, dll, apalagi hal-hal yang tidak berhubungan dengan main saham TIDAK AKAN ditampilkan.