It took 29 years, that included 10 weeks on the road this season because of the coronavirus, for VanDerveer and the Cardinal to be crowned NCAA women’s basketball champions again.
“We had some special karma going for us,” VanDerveer said. “Had the comeback against Louisville, dodge a bullet against South Carolina, dodge bullet against Arizona. Sometimes you have to be lucky. I’ll admit it, we were very fortunate to win.”
Perlu waktu 29 tahun, termasuk 10 minggu perjalanan darat di musim (pertandingan) ini karena virus corona, sebelum VanDerveer dan (tim) Cardinal mendapatkan mahkota juara bola basket wanita NCAA lagi.
"Kami mendapat karma baik belakangan ini," kata VanDerveer. "Menang setelah tertinggal melawan Louisville, menghindari peluru melawan South Carolina, menghindari peluru lagi melawan Arizona. Terkadang anda harus beruntung. Saya akui, kami sangat beruntung bisa menang."
---- Tara VanDerveer - Head Coach Stanford Women Basketball, 68 years old, after winning 2021 NCAA Women Basketball National Championship.
Saat masih hijau, 40-50 tahun lalu, saya yakin 100% bahwa kalau seseorang belajar keras, bekerja keras, berusaha keras tanpa putus-asa, suatu hari ia pasti akan sukses, pasti akan menjadi nomor 1, pasti kaya, pasti menggapai apa yang ia inginkan.
Dengan berjalannya waktu, bertambahnya umur dan rambut putih, saya (akhirnya) menyadari bahwa belajar keras, bekerja keras, berusaha keras, tidak menjamin seseorang pasti sukses, pasti kaya, pasti mendapatkan apa yang ia inginkan.
Memang, dengan bekerja keras saya yakin seseorang akan bisa hidup (relatif) nyaman dan (yang pasti) tidak kelaparan.
Tapi kalau seseorang ingin sukses luar biasa, ingin menjadi nomor 1 (menjadi presiden, misalnya), ingin kaya raya, ingin mendapatkan apa yang ia inginkan, kerja keras saja tidak cukup. Pada akhirnya nasib dan keberuntungan yang menentukan.
Terkadang anda harus beruntung, kata VanDerveer.
"Tapi Mas Iyan," sergah anda. "Masa sih kita harus mengandalkan nasib saja agar bisa sukses main saham?"
Jangan salah mengerti.
Saya tidak bilang bahwa seseorang tidak perlu belajar keras, tidak perlu bekerja keras, tidak perlu berusaha semaksimum mungkin, cukup mengandalkan nasib dan bisa sukses main saham.
Untuk sukses main saham, anda HARUS bekerja keras dan berusaha keras. Itu tidak bisa ditawar.
Tapi yang sangat penting anda sadari adalah ini: tingkat kesuksesan yang anda dapatkan—setelah anda bekerja dan berusaha sekeras mungkin— tergantung pada keberuntungan anda.
Warren Buffet, investor saham legendaris dari Amerika Serikat, pun mengakui bahwa ia bisa menjadi salah satu investor paling kaya di dunia karena dirinya beruntung.
Masih tidak percaya?
Saya juga pernah membaca artikel tentang simulasi komputer yang dilakukan Alesandro Pluchino dan kawan-kawan di Universitas Catania di Italia yang mencoba mencari tahu apa yang berperan paling penting dalam menggapai sukses: apakah bakat (talent), kepandaian (intelligence), atau keberuntungan (luck)?
Dari simulasi tersebut Alesandro Pluchino berkesimpulan bahwa orang yang paling sukses adalah orang yang paling beruntung. Bukan yang paling berbakat. Bukan yang paling pintar.
“The maximum success never coincides with the maximum talent, and vice-versa,” kata periset-periset tersebut.
Kesuksesan paling maksimal tidak berhubungan lurus dengan bakat/kepandaian paling maksimal; kesuksesan paling minim juga tidak berhubungan lurus dengan bakat/kepandaian paling minim.
Terkadang anda harus beruntung.
---###$$$###---
Nah, apa hubungan "terkadang anda harus beruntung" dengan main saham?
Banyak sekali hubungannya. Saya berikan 1 contoh ya.
Misalkan anda dan teman anda (katakanlah namanya Ahok) bekerja keras menganalisa saham yang layak dibeli. Dari analisa tersebut anda dan Ahok berkesimpulan bahwa saham A, B, C, D, E, F, G, H, I, J paling berpotensi memberi keuntungan maksimum kalau anda beli dan pegang selama 1 tahun. Karena potensi saham-saham tersebut kelihatannya sama saja, anda memutuskan membeli Saham A-E; Ahok memutuskan membeli saham F-J.
Setelah berlalu 1 tahun, portofolio anda naik 18%. Cukup baik, kan?
Tapi masalahnya, portofolio Ahok naik 88%.
Kok bisa?
Padahal ketika anda dan Ahok menganalisa, potensi saham-saham tersebut kelihatannya tidak berbeda jauh.
Kok bisa?
Saya tidak tahu jawabannya. Yang saya tahu adalah "terkadang anda harus beruntung."
Yang saya tahu juga dari contoh di atas: si Ahok jauh lebih beruntung dari anda.
Pos-pos yang berhubungan:
[Pos ini ©2021 oleh Iyan terusbelajarsaham.blogspot.com. Hak Cipta dilindungi Undang-Undang.]