Page List

Sunday, March 27, 2011

Prinsip Mendasar Analisa Teknikal (Technical Analysis) Bagian I

Protected by Copyscape Online Plagiarism Tool


"Analisa Teknikal?Apa itu?" gumam anda dalam hati. "Kok investasi saham pake analisa teknik. Emangnya saham punya mesin?"

Nah, untuk menghindari salah pengertian, sebelum kita diskusi tentang prinsip yang mendasari analisa teknikal (technical analysis), saya jelaskan dulu apa sebenarnya Analisa Teknikal ini.

Analisa Teknikal (Technical Analysis atau disingkat TA) adalah bidang yang memperhatikan gejolak harga (dan volume) saham dengan tujuan memprediksi harga saham di masa datang. Analisa teknikal biasanya dilakukan dengan menggunakan “chart” atau grafik.

Ada pemain saham yang menganggap Analisa Teknikal hanyalah chart/grafik harga. Tidak begitu. Semua metode analisa yang menggunakan harga (dan/atau volume) termasuk dalam Technical Analysis ini, terlepas apakah metode itu dijabarkan dalam grafik atau tidak. 

Saat ini Technical Analysis sudah diterima sebagian pemain saham sebagai alat yang berguna. Tapi tetap saja masih ada yang menganggap bahwa Technical Analysis tidak bermanfaat sama sekali.

“Analisa Teknikal itu omong kosong,” begitu kata mereka. “Saya hanya percaya pada analisa fundamental.”

Pendapat mereka sah-sah saja. Tapi terlepas dari apakah analisa teknikal berguna atau tidak, tidak ada salahnya anda mencoba dan menentukan pendapat anda sendiri.

Sebelum anda mendalami Technical Analysis lebih lanjut, anda sebaiknya terlebih dahulu tahu prinsip-prinsip dasar berikut:
  • Tidak ada satu pun analisa teknikal yang bisa memprediksi semuanya, yang “works all the time.”
  • Analisa Teknikal terbagi menjadi dua metode utama: trend-following dan oscillator.
  • Sebelum anda percaya analisa teknikal anda harus terlebih dulu percaya dalil momentum.
  • Prediksi yang diberikan analisa teknikal bersifat TIDAK absolut.
  • Analisa Teknikal digunakan karena sifatnya yang konsisten dan tanpa prasangka (unbiased).

Mari kita telaah lebih dalam prinsip-prinsip tersebut.


Prinsip Pertama: Tidak ada satu pun analisa teknikal yang bisa memprediksi semuanya.

Kalau anda mendalami TA, anda akan menemukan berbagai rupa metode, dari yang sederhana sampai yang rumit. Tampilan harga saham bisa dilakukan dengan bar, candlestick, point-and-figure dan lain-lain. Metode perhitungan juga ada puluhan bahkan ratusan, di antaranya: Average True Range, Bollinger Bands, Chaikin Money Flow, Moving Average Convergence Divergence (MACD), Moving Average, On Balance Volume, Parabolic SAR, Price Channel, Relative Strenth Index, Stochastic, Williams’ %R.

Yang harus anda camkan: Dari semua metode ini, tidak ada satupun yang bisa melakukan semua hal, tidak ada satupun yang “works all the time.” Artinya, setiap metode punya kelebihan tapi juga ada kelemahannya.

Contohnya begini: Bollinger Bands bisa berfungsi dengan baik ketika volatilitas relatif stabil tapi tidak efektif ketika volatilitas berubah menjadi tinggi. Atau, Moving Average mungkin berfungsi baik ketika saham bergerak dalam trend, tapi tidak banyak gunanya ketika harga bergerak dalam kisaran (sideways).

Jadi kalau ada orang yang mengklaim bahwa analisa teknikal ciptaannya bisa memprediksi pergerakan semua saham dalam segala kondisi, wah, sebaiknya anda berhati-hati. Ini sama saja dengan tukang obat yang mengklaim bahwa obatnya bisa menyembuhkan semua penyakit: darah tinggi, darah rendah, kencing manis, serangan jantung, stroke, gagal ginjal, kanker, sampai impotensi, mandul, penyakit kulit, penyakit kelamin dan lain sebagainya.

Mungkinkah?

Kemungkinan selalu ada, tapi sangat kecil. Beranikah anda mempertaruhkan kesehatan dan nyawa anda hanya dengan obat ini? Saya rasa tidak. Jadi sebaiknya juga anda tidak mempertaruhkan seluruh uang investasi anda pada satu analisa teknikal.


Prinsip Kedua: Analisa Teknikal terbagi menjadi dua cabang utama, trend-following dan oscillator. 

Prinsip kedua ini adalah kelanjutan dari prinsip pertama. Ada baiknya kita lihat dulu perbedaan trend-following dengan oscillator.

Indikator trend-following berfungsi memprediksi apakah saham yang sedang bergerak naik (uptrend) atau turun (downtrend) cenderung akan melanjutkan aksinya atau cenderung berbalik arah. Sedangkan indikator oscillator berfungsi memprediksi suatu saham yang bergerak dalam kisaran apakah sudah jenuh jual atau jenuh beli.

Indikator trend-following tidak bekerja efektif pada saham yang bergerak dalam kisaran (sideway). Demikian pula, indikator oscillator tidak berfungsi maksimal pada saham yang sedang bergerak naik atau turun drastis.

Kalau saja pergerakan harga saham selalu sama (yang naik, naik terus; yang sideway, sideway terus; yang turun, turun terus) tentu tidak ada masalah karena indikator yang sudah berfungsi baik akan tetap berfungsi.

Tapi masalahnya saham tidak terpaku pada pergerakan yang sama: yang sudah naik berkemungkinan berubah menjadi bergerak sideway. Atau juga saham yang sudah lama bergerak sideway, tiba-tiba keluar dari kisarannya dan memulai trend turun. Ketika perubahan ini terjadi, analisa teknikal yang berfungsi efektif sebelumnya akan menjadi tidak efektif dan memberi sinyal yang tidak tepat. 

Figure 1. Guru Yosen memberitahu Chin Mi, si Kung Fu Boy, bahwa taktik harus disesuaikan dengan keadaan
Maka dari itu, anda harus membedakan dulu analisa teknikal yang anda gunakan, apakah ia adalah trend-following (misalnya moving average, MACD) atau oscillator (Relative Strength Index, Stochastic).

Menggunakan indikator trend-following pada saham yang bergerak dalam kisaran sempit akan menuai kerugian. Demikian pula sebaliknya, menggunakan indikator oscillator pada saham yang sedang trend naik akan membuat kita menjual terlalu awal.

Lanjut baca ke Prinsip ketiga klik di sini: Prinsip Mendasar Analisa Teknikal (Technical Analysis) Bagian II






Pos-pos yang berhubungan:
[Pos ini ©2011 oleh Iyan terusbelajarsaham.blogspot.com. Hak Cipta dilindungi Undang-Undang.]

Saturday, March 19, 2011

Memulai Main Saham Sangatlah Mudah

Beberapa tahun belakangan ini—ketika banyak perusahaan sekuritas yang menawarkan internet trading—calon investor di Bursa Efek Indonesia bisa mulai main saham dengan modal hanya Rp 5 juta. Syarat-syarat administrasi juga sangat mudah: mengisi formulir lalu melampirkan fotokopi KTP dan NPWP. Selang beberapa hari sang investor sudah bisa mulai jual-beli saham melalui internet.

Amat sangat mudah. Amat sangat cepat.

Saking mudah dan cepatnya proses untuk memulai main saham ini, banyak orang awam yang berangan-angan untuk berhenti dari pekerjaannya yang membosankan, mulai berbisnis main saham, dan menjadi kaya dalam beberapa tahun.

Lagi-lagi saya akan membuyarkan mimpi indah ini.

(Saya kadang merasa sangat jahat selalu membuyarkan mimpi indah orang. Tapi saya akan merasa lebih bersalah kalau membiarkan investor awam menghamburkan dan menghabiskan semua tabungannya di bursa saham karena ia tidak pernah diperingati bahwa main saham sebenarnya sangat sulit.)

Mudah untuk memulai main saham—istilah kerennya low barrier-of-entry—tidak berarti mudah pula untuk mendapat UNTUNG dari main saham. Malahan sebaliknya.

Mengapa?

Bisnis apapun yang barrier-of-entry (halangan untuk masuk)-nya rendah berarti siapapun bisa masuk. Kalau siapapun bisa masuk, berarti persaingan sangatlah ketat. Dengan persaingan ketat ini berarti sangatlah sulit untuk sukses.

Coba anda pikirkan, adakah bisnis atau profesi yang mana dapat dilakukan siapa saja dan yang mana pelakunya sukses semua. Kalau ada, pasti semua orang sudah masuk ke bisnis atau profesi tersebut dan tidak ada lagi orang melakukan bisnis dan profesi lain. Secara logika, hal ini tidak mungkin ada.

Logika bahkan mendikte bahwa bisnis dengan low barrier-of-entry harus bersifat high barrier-to-succeed (halangan tinggi untuk sukses). Artinya, para pelaku bisnis itu akan terseleksi secara alamiah: yang berkemampuan (fisik, mental, pengetahuan, keahlian, finansial, dan lain-lain) rendah akan tersingkir, yang berkemampuan sedang akan bertahan untuk hidup layak, dan hanya segelintir yang berkemampuan tinggi akan menggapai sukses.

Cukup banyak orang yang punya suara yang indah, tapi berapa banyak yang sukses jadi penyanyi? Ada banyak orang yang pandai memasak, tapi berapa banyak yang sukses menjadi wiraswasta restoran? Banyak orang membuka usaha warung, tapi berapa yang sukses? Ada banyak orang yang punya modal Rp 5 juta untuk mulai main saham, tapi berapa banyak yang bisa kaya dari saham?

Saya tidak mengatakan bahwa seorang pemula tidak mungkin sukses main saham. Kemungkinan selalu ada. Yang saya katakan di sini adalah: Jangan menyamakan kemudahan untuk mulai main saham (low barrier-of-entry) dengan kemudahan untuk menjadi sukses dari main saham (low barrier-to-succeed). Anda malahan harus menyadari kebalikannya:

Low barrier-of-entry means high barrier-to-succeed

Rendahnya halangan untuk masuk berarti tinggi halangan untuk sukses.







Pos yang berhubungan:
[Pos ini ©2011 oleh Iyan terusbelajarsaham.blogspot.com. Hak Cipta dilindungi Undang-Undang.]

Saturday, March 12, 2011

Istilah "Bid" dan "Offer" Ketika Bermain Saham

Bid dan offer adalah istilah harga saham ketika transaksi berlangsung di bursa.

Kalau anda ingin menjual saham dan diberitahu bahwa harga saham BBRI adalah Rp 5000, informasi tersebut tidak spesifik. Apakah artinya anda bisa jual BBRI di 5000 dan langsung laku atau anda harus mengantri jual (tidak langsung laku)? Perbedaan ini mungkin tidak penting bagi pendengar atau pembaca berita, tapi perbedaaan ini sangat penting untuk anda yang hendak melakukan jual-beli saham tersebut.

Maka dari itu, ketika bermain saham anda harus tahu harga spesifik saham yang ingin anda transaksikan. Dan harga spesifik tersebut selalu terdiri dari dua komponen, harga bid dan harga offer.

Arti bid dan offer, tergantung konteks kalimat, adalah sebagai berikut:


Bid = penawaran beli, minat beli, antri beli.

Offer = penawaran jual, minat jual, antri jual.


Untuk mempermudah diskusi, silahkan lihat contoh tampilan Order Book dari Indo Premier Online Trading (IPOT) untuk saham Garuda Indonesia (GIAA) berikut ini:

Tampilan harga bid dan offer ini dipisah menjadi dua kolom: biasanya kolom kiri adalah harga bid dan kolom kanan harga offer. Dari tampilan tersebut anda bisa melihat bahwa harga penawaran beli (bid) tertinggi GIAA adalah Rp 520 sebanyak 23,328 lot sedangkan harga penawaran jual (offer) terendah GIAA adalah Rp 530 sebanyak 9,782 lot.

Perhatikan: harga bid tertinggi dan harga offer terendah selalu berada di baris pertama.

Kalau anda mau menjual GIAA dan langsung laku, anda harus jual di harga bid Rp 520; kalau anda mau membeli GIAA dan langsung dapat, anda harus beli di harga offer Rp 530.

[Saya tidak turut mendiskusikan jumlah lot bid dan offer dengan detil di sini. Saya berencana menulis blog tersendiri tentang hal ini.]

Sebenarnya, arti bid adalah semua harga penawaran beli di kolom kiri (dari Rp 520 sampai dengan 460 ) dan arti offer adalah semua harga penawaran jual di kolom kanan (530 sampai dengan 620). Tapi dalam praktek sehari-hari, pemain saham memakai istilah bid biasanya untuk harga penawaran beli tertinggi dan offer untuk harga penawaran jual terendah.

Memang, kalau anda melakukan sendiri jual-beli saham melalui online-trading, anda tidak perlu khawatir tentang istilah-istilah ini. Tapi kalau anda ingin mengungkapkan niat anda kepada orang lain misalkan kepada pialang anda harus menggunakan istilah-istilah ini dengan seksama.

Menggunakan contoh di atas, kalau anda bertanya harga GIAA melalui telepon, pialang anda akan menjawab bid Rp 520, offer 530. Artinya, kalau anda mau menjual GIAA langsung laku, anda harus jual di Rp 520; kalau anda mau beli GIAA langsung dapat, anda harus beli di Rp 530.

Misalkan menurut anda harga 520 terlalu mahal dan hanya mau membeli GIAA di harga 500. Nah, anda bisa mengantri beli di harga 500 dengan berkata seperti ini, “Bid GIAA di (harga) 500 sebanyak 100 lot.” Atau kalau anda mau jual di 550, “Offer GIAA di 550 100 lot.”

Pada konteks kalimat di atas, kata bid dan offer menjadi kata kerja yang berarti antrikan beli dan antrikan jual.

Intinya, kalau anda bertanya bid/offer saham saat ini, pialang berasumsi anda menanyakan harga minat beli tertinggi dan harga minat jual terendah saat ini (harga pada baris pertama bid/offer). Setelah anda mendapat informasi itu, anda bisa antri beli (bid) di harga minat beli tertinggi tersebut ataupun harga lebih rendah; anda juga bisa antri jual (offer) di harga minat jual terendah tersebut atapun harga lebih tinggi. 

Kata bid dan offer dari bahasa Inggris ini kerap dipakai pemain saham Indonesia sebagai istilah umum bermain saham karena belum adanya padanan kata bahasa Indonesia yang sama singkat dan sama padatnya.






Pos-pos yang berhubungan:
[Pos ini ©2011 oleh Iyan terusbelajarsaham.blogspot.com. Hak Cipta dilindungi Undang-Undang.]

Saturday, March 5, 2011

Investasi Saham Cara Peter Lynch di Buku "One Up on Wall Street" (Bagian V)

 
Hendak membaca pos ini dari awal? Silahkan klik di sini "Mau Investasi Saham? Baca Dulu Buku Peter Lynch 'One Up on Wall Street' (Bagian I)."



V. Laba, Laba, Laba 

Apa yang membuat perusahaan berharga sehingga harga sahamnya naik? Ada banyak teori untuk menjawab pertanyaan ini tapi bagi Peter Lynch, jawabannya adalah laba dan asset. Terutama laba.

Anda mungkin pernah memperhatikan bahwa saham INCO, perusahaan penambang nikel, naik ketika harga nikel naik. Atau saham Apple naik karena iPhone dan iPad laku keras.

Kalau anda perhatikan dengan seksama, ujung-ujung sebab kenaikan harga saham-saham tersebut adalah karena pasar memproyeksikan laba perusahaan akan naik. Artinya, pasar yakin laba INCO akan naik karena harga nikel naik; pasar yakin laba Apple akan naik karena produknya laku keras. Proyeksi kenaikan laba inilah yang mendorong pelaku pasar memborong saham, mendongkrak naik harga.

Tapi bagaimana menggunakan data laba perusahaan untuk membandingkan saham?

Misalkan anda membaca bahwa laba Indosat (ISAT) tahun 2010 adalah Rp 500 milyar dan laba Matahari Putra Prima (MPPA) adalah Rp 50 milyar. Apakah ini berarti keuntungan ISAT lebih besar dari MPPA, jadi anda lebih baik membeli saham ISAT?

Bukan begitu.

Anda jangan menggunakan data laba absolut untuk membandingkan saham. Yang pertama harus anda lakukan adalah menghitung laba per saham (earning per share atau biasa disingkat EPS).

Misalkan saja jumlah saham beredar ISAT satu milyar lembar dan jumlah saham beredar MPPA juga satu milyar lembar. Anda dapat menghitung laba per saham masing-masing:

Earning Per Share (EPS) ISAT = Rp 500 milyar / 1 milyar = Rp 500.

Earning Per Share (EPS) MPPA = Rp 50 milyar / 1 milyar = Rp 50.

[Untuk lebih jelasnya, silahkan baca juga pos "Arti Istilah Earning Per Share (EPS)."]


Nah, sekarang anda tahu bahwa pada tahun 2010 EPS ISAT Rp 500 dan EPS MPPA Rp 50. Berarti anda lebih baik membeli saham ISAT karena EPSnya lebih tinggi dari MPPA?

Bukan begitu. Masih ada satu tahap perhitungan lagi.

EPS adalah informasi yang penting, tapi untuk mempermudah proses membandingkan satu saham dengan saham yang lain, anda perlu menghitung price/earning ratio (PER), rasio harga terhadap laba. (Price/harga yang dimaksud di sini adalah harga saham.) Cara menghitung PER adalah dengan membagi harga saham dengan EPS.

Melanjutkan contoh di atas, misalkan harga saham ISAT Rp 5000 dan harga saham MPPA Rp 1000. Mari kita hitung PER masing-masing:

Price Earning Ratio (PER) ISAT = Rp 5000 / Rp 500 = 10

Price Earning Ratio (PER) MPPA = Rp 1000 / Rp 50 = 20

[Silahkan baca juga pos "Arti Istilah Price-to-Earnings Ratio."


Nah, sekarang anda tahu bahwa pada tahun 2010 PER ISAT adalah 10 dan PER MPPA 20. Kalau anda memakai logika matematika, anda berkesimpulan bahwa semakin rendah PER berarti semakin murah saham tersebut. Karena PER ISAT lebih rendah dari PER MPPA berarti ISAT lebih layak dibeli?

Lagi-lagi bukan begitu.

Analis atau pemain saham biasanya membandingkan PER saham satu dengan saham lain di industri yang sama. Artinya, PER ISAT—perusahaan telekomunikasi—biasanya dibandingkan dengan PER perusahaan telekomunikasi lainya. PER MPAAperusahaan ritel—biasanya dibandingkan dengan PER perusahaan ritel lainnya. Dengan membandingkan PER saham-saham di satu sektor industri, anda bisa mengira-ngira apakah saham itu murah, wajar, atau mahal RELATIF terhadap saham lain di industri sejenis.

Membandingkan PER tidak hanya dilakukan pada saham-saham di industri yang sama. Anda juga bisa membandingkan PER berdasarkan negara atau berdasarkan tahun tertentu.

Peter Lynch mengingatkan bahwa PER perusahaan dalam industri yang sama tidak selalu harus dalam kisaran PER yang sama. Misalkan saja kita membandingkan Dell Computer dengan Apple Computer, dua perusahaan dalam industri sejenis. PER Dell saat ini 11 dan PER Apple 20. Berdasarkan PER saja anda mungkin mengambil kesimpulan bahwa saham Apple mahal dan tidak layak dibeli. Tapi kenyataanya bisa saja saham Apple yang mahal malah terus naik dan saham Dell yang murah malah tidak naik. Mengapa hal ini terjadi?

Untuk menjawab pertanyaan ini anda harus mengingat enam kategori perusahaan menurut Peter Lynch: Slow Grower, Stalwart, Fast Grower, Cyclical, Asset Play, atau Turnaround. (Untuk lebih jelas mengenai kategori perusahaan, silahkan baca pos “Investasi Saham Cara Peter Lynch di Buku ‘One Up on Wall Street (Bagian I).”dan pos "Enam Kategori Saham Menurut Peter Lynch.")

Perusahaan dalam kategori berbeda akan mempunyai kisaran PER yang berbeda. Artinya, perusahaan Fast Grower biasanya ber-PER lebih tinggi dari Slow Grower atau Stalwart. Perusahaan Asset Play bisa saja ber-PER sangat tinggi tapi sahamnya tetap naik karena yang membuat perusahaan tersebut berharga adalah assetnya, bukan labanya.

Jadi, hanya karena PER Apple Computer relatif tinggi, tidak serta-merta berarti saham tersebut mahal dan tidak layak dibeli. PER Apple tinggi mungkin karena ia berkategori Fast Grower, sedangkan PER Dell rendah karena ia berkategori Slow Grower.

Tapi Peter Lynch juga mewanti-wanti anda untuk menghindari saham dengan PER amat sangat tinggi. Saham ber-PER tinggi harus terus menerus mendongkrak naik laba untuk menjustifikasi harga sahamnya yang tinggi. Kalau perusahaan tidak memenuhi ekspektasi ini, harga saham akan turun drastis.


Future Earnings – Laba Masa Depan

Main saham akan jauh lebih mudah kalau pemain saham bertransaksi saham berdasarkan PER masa lalu. (Ingat, data laba perusahaan yang dipublikasikan adalah data masa lalu, bukan masa berjalan atau masa datang. Jadi, pada tahun 2011 kita hanya tahu PER  nyata tahun 2010, bukan PER nyata 2011 karena tahun 2011 masih berjalan. Kalau ada analis yang mempublikasikan PER tahun berjalan, PER tersebut adalah PERKIRAAN.)

Tapi masalahnya, pemain saham selalu berusaha memperkirakan laba perusahaan di masa datang, lalu memutuskan membeli atau menjual saham berdasarkan perkiraan tersebut. Analis memakai berbagai metode untuk memperkirakan Laba Masa Depan, tapi intinya hanya satu: semua hanyalah perkiraan. Jadi kalau ada yang memberitahu anda bahwa analisa fundamental adalah cara terbaik menilai harga saham wajar, tanyakan dulu apa asumsi dan perkiraan yang dipakai dalam analisa tersebut.

[Untuk lebih jelasnya, silahkan baca juga pos "Price-to-Earnings Ration: Trailing & Forward."]

Sangatlah sulit mengira-ngira Laba Masa Depan—bahkan untuk analis atau pemain saham professional—tapi setidaknya anda bisa mencari tahu apa dan bagaimana rencana perusahaan untuk mendongkrak laba. Pada dasarnya, ada lima cara perusahaan mendongkrak laba: mengurangi biaya, menaikkan harga, ekspansi ke pasar yang baru, menjual lebih banyak ke pasar lama, atau menutup usaha yang merugikan. Setelah anda tahu rencana perusahaan untuk meningkatkan laba, anda harus memantau secara berkala apakah rencana tersebut berjalan lancar.


Selain Price Earning Ratio (PER), masih ada beberapa istilah dan angka yang perlu diketahui investor saham. Mau tahu? Lanjutkan baca ke “Investasi Saham Cara Peter Lynch di Buku ‘One Up on Wall Street’ (Bagian VI).






Pos-pos yang berhubungan:
[Pos ini ©2011 oleh Iyan terusbelajarsaham.blogspot.com. Hak Cipta dilindungi Undang-Undang.]