Figure 1. Sampul Depan Indonesia Capital Market Directory 1996 |
Melihat Indonesia Capital Market Directory (ICMD) lawas itu, saya teringat masa-masa awal saya bermain saham. Nostalgia, gitu loh.
Kalau anda pernah membaca halaman "About" atau "Profil", anda tahu bahwa—sebelum menjadi trader yang mementingkan analisa teknikal—saya mulai bermain saham sebagai investor jangka menengah yang mementingkan analisa fundamental. Analisa fundamental berarti berusaha meneliti laporan keuangan perusahaan.
Di tahun 1997, mencari data keuangan perusahaan tidak semudah sekarang. Jaringan internet di Indonesia pada saat itu baru sebatas untuk email dan—seingat saya—Bursa Efek Jakarta dan perusahaan-perusahaan publik belum ada yang memiliki website.
Kenapa tidak di-google saja? tukas anda.
Tidak bisa. Google belum ada karena Google didirikan pada akhir tahun 1998.
Lalu, bagaimana cara mendapatkan data keuangan perusahaan?
Cara termudah yang saya tahu adalah berlangganan surat kabar Bisnis Indonesia dan mengkliping laporan keuangan tahunan perusahaan dari koran tersebut. Silahkan lihat contoh di bawah ini.
Figure 2. Laporan Keuangan Konsolidasi PT Dynaplast Tahun 1996 |
Mengkliping laporan keuangan menelan waktu dan memakan biaya (langganan koran). Lagipula, untuk analisa fundamental diperlukan data keuangan perusahaan beberapa tahun terakhir, bukan hanya tahun terakhir saja. Artinya saya harus mengkliping dan menyimpan laporan keuangan tahun ini untuk dibandingkan dengan laporan keuangan tahun-tahun berikutnya.
Nah, mengkliping laporan keuangan hanya empat atau lima perusahaan sudah cukup merepotkan. Tapi bagaimana kalau suatu saat saya tertarik menganalisa fundamental suatu perusahaan tapi saya tidak punya kliping laporan keuangannya?
Apa yang harus saya lakukan? Masa sih harus mengkliping laporan keuangan semua perusahaan yang tercatat di Bursa Efek Jakarta?
Untung saja ada Indonesian Capital Market Directory (ICMD) yang diterbitkan Institute for Economic and Financial Research.
Di dalam ICMD, selain ringkasan laporan keuangan 3 tahun terakhir, juga bisa ditemukan rasio-rasio keuangan perusahan seperti PER (Price-to-Earnings Ratio), PBV (Price to Book Value), Dividend Payout, Dividend Yield, ROI (Return on Investment), ROE (Return on Equity), dan masih banyak lagi data lainnya. Silahkan lihat Figure 3 dan Figure 4.
Figure 3. Indonesian Capital Market Directory Hal.170 PT Dynaplast |
Figure 4. Indonesian Capital Market Directory 1996 Hal.171 PT Dynaplast |
Bermodal data historikal yang lebih banyak dan lebih lengkap, saya berasumsi bahwa saya akan bisa membuat keputusan investasi saham yang menguntungkan.
Kenyataannya?
Saya tetap saja merugi.
Kok bisa? tanya anda.
Saat itu, saya juga bingung. Barulah beberapa tahun kemudian saya menemukan jawabannya: pergerakan harga saham selalu forward looking (melihat ke depan) sedangkan laporan keuangan (data historikal) adalah melihat ke belakang. (Silahkan baca pos "Valuasi Indeks Saham Indonesia Terlalu Tinggi?") Dengan kata lain, membeli saham hanya berdasarkan analisa fundamental (data keuangan) masa lalu bukanlah resep tepat untuk mendapat untung.
Semua waktu dan tenaga yang saya curahkan untuk mengkliping dan menganalisa laporan keuangan sia-sia belaka.
Apa artinya untuk anda?
Artinya, kekuatan analisa bergantung pada logika di balik analisa tersebut, bukan pada jumlah data yang semakin banyak.
Pesan moral:
Kalau saat ini anda sedang belajar menganalisa saham, jangan beranggapan bahwa semakin banyak data historikal yang anda gunakan berarti semakin besar kemungkinan anda mendapat untung dari saham.
Pos-pos yang berhubungan:
- Resiko & Masalah Value Investing Bagi Pemula
- Valuasi Indeks Saham Indonesia Terlalu Tinggi?
- Cara Investasi Saham Jangka Panjang Dengan Analisa Teknikal